Bagian Pertama
Kame Dea
Sungguh tak menyangka waktu berjalan begitu cepat. Sampai pada titik ini, semua berjalan begitu mulus. Tak ada hambatan. Bukan berarti karena kelebihan yang ku miliki, namun itu semua terjadi karena dominasi yang dimiliki oleh ayahku dan peranannya. Dari ku kecil sampai ku tumbuh dewasa. Tak ada yang mampu menghalangi langkahku, atau lebih tepatnya adalah kemauan ayahku yang dia imbaskan atas kelahiranku.
Mungkin orang lain akan merasa senang apabila mereka melihat apa yang kumuliki selama ini. Semua berjalan semestinya, namun aku tak merasa seperti itu. Bagiku itu bukan hal yang alamiah, karena semua yang terjadi pada diriku adalah kehendak ayahku. Semua sudah diatur, apabila ada bagian yang menjauh dari keinginan ayahku, maka ia akan menghukumnya. Sumpah serapah akan keluar dari mulutnya. Yang ingin menghalanginya ia tendang, semua orang dihadapannya bagaikan anak kecil yang penurut. Takut, mereka takut. Sungguh menakutkannya ayahku bagi mereka.
Aku memang tak mengerti, ketika ayahku begitu ambisius dan tak ingin mengerti atas kesalahan yang disengaja ataupun tidak disengaja yang dilakukan oleh orang-orang disekelilingnya atau orang-orang yang terlibat untuk memenuhi ambisinya, mereka tampak terlihat tabah atau sengaja mereka tabahkan. Bahkan sampai ketika aku dewasa seperti ini, aku masih tak mengerti mengapa mereka masih mau berada disisi ayahku.
Semasa kecil aku pernah melihat secara langsung, seorang guruku harus keluar dari sekolah setelah ia memberikanku nilai yang kecil. Aku sadar saat itu, hal tersebut terjadi atas kebodohanku. Aku sulit menerima apa yang diberikan oleh guruku, dan ketika diadakan ulangan harian nilaiku jelek. Ayahku tahu, dan ia dengan kekuasaannya mampu mengeluarkan guru tersebut dari sekolahku, dan kepala sekolah tak mampu menahan hal tersebut. Tampak olehku pada saat itu, ayahku begitu perkasa dan berkuasa. Namun aku tidak bangga atas keperkasaan dan kekuasaan yang ia miliki. Aku sadar, penyebab nilaku jelek adalah karena pada saat itu aku melihat pertengkaran ayah dan ibuku. Mereka bertengkar setelah pulang dari kesibukannya di luar rumah. Aku menangis namun mereka berdua tak ada yang tahu. Kakakku saat itu sudah tak ambil pusing lagi atas hal seperti itu, karena ia sudah tumbuh dewasa dan mungkin juga sudah terbiasa. Namun saat itu aku masih kelas empat SD, dan aku sungguh terpukul sehingga nilaiku memburuk.
Semasa ku mengeyam bangku sekolah ayahku adalah seorang Sekretaris Jenderal di salah satu perusahaan BUMN dan ibuku adalah seorang Deputi Bank Negeri. Sehingga mereka sering kali keluar kota untuk kepentingan bisnisnya. Mereka jarang sekali kumpul bersama aku dan kakakku. Untuk mengetahui prestasi anak-anaknya ia memutus seorang anak buahnya untuk memantua kegiatanku di sekolah. Dan tak lupa, disetiap sekolah yang aku tempati, mereka selalu menjadi penyumbang terbesar di sekolah, dengan imbalan nilai-nilai aku dan kakakku direkayasa sedemikian rupa agar kami selalu menjadi juara kelas.
Baru ketika aku memasuki bangku perkuliahan, ayahku menjabat sebagai salah satu Menteri di pemerintahan. Jabatan tersebut ia dapat atas kedekatannya dengan Presiden kala itu dan ayahku juga menjadi penyumbang dalam masa kampanye nya. Selalu ada konspiras dalam perjalanan hidupnya. Antara ayak dan Presiden, mereka kerap kali melakukan kerja sama “gelap” selama ayahku menjabat di BUMN. Setiap tender yang terjadi, ayahku selalu memberikannya kepada anak perusahaan yang dimiliki oleh Presiden tersebut. Dan itu berlanjut sampai ia menjabat sebagai seorang Menteri dan kawan sepermainannya menjabat sebagai Presiden. Tak heran, hartanya kini menumpuk, bahkan sanggup untuk memberi makan orang se-Jakarta dalam satu hari atau bahkan lebih. Kakaknya yang semasa kecilnya kerap kali menolak atas kemewahan yang dimiliki orang tua mereka kini menjadi penikmat utama atas kemewahan tersebut. Dan ia yang kini sedikit menjauh dari kemewahan tersebut harus keluar dengan beribu alasan.
Aku adalah Putri, itu adalah nama asliku, bukan putri atas segala kemewahan yang dibangun atas kedigdayaan ayahku. Aku Putri. Bukan menjadi putri dalam istana tersebut. Kini semenjak ku memasuki bangku kuliah, aku sadar perjalanan begitu singkat dan mulus. Dan yang membuat itu semua berasal dari sebuah yang ku anggap sebagai kemunafikan.
Aku keluar dari lingkaran tersebut. Awalnya aku beralasan ingin ngekost dekat kawasan kampusku, agar dengan mudah dan tidak terlalu lelah dalam perjalanan. Selain itu, agar aku juga dapat berlama-lama dan pulang-pergi ke perpustakaan. Mereka setuju, tanpa mengetahui kemuakan ku yang sesungguhnya.
Aku sudah muak dengan semua itu saat aku memasuki semester pertama ku kuliah. Aku bosan dengan kemewahan keluaga ku dan juga keluarga-keluarga lain yang menduduki jabatan seperti ayahku. Mereka keluar negeri dengan mudah, belanja di tempat-tempat elit di Eropa, sepatu, tas dan segalanya, mereka menikmati sisi lain dari yang seharusnya mereka tak nikmati. Yakni uang rakyat. Kunjungan kerja yang hanya memakan waktu tak sampai seminggu, namun mereka perlama untuk memenuhi nafsunya. Memakan waktu lama dan juga anggaran yang lama yang semua berasal dari rakyatnya yang miskin dan menderita.
Tak ada kecurigaan dari ayah dan ibuku setelah ku memutuskan keluar dari kemewahan tersebut. Aku juga kerap kali menemui penjilat-penjilat muda, yang melihat kemewahanku semata. Mereka mendekat, menaruh rasa kebahagiaan atas yang kumiliki, namun mereka mengharap yang lebih. Mencoba menikmati “diriku” yang diberikan oleh keluargaku. Harta yang mereka cari dan juga akses birokrasi untuk mempermudah mereka setelah sarjana. Aku kerap kali menolak penjilat-penjilat itu dan kecewa yang teramat dalam. Mereka adalah mahasiswa, agen perubahan, dan juga seharusnya mereka berdiri paling depan menentang kesemua itu. Namun mereka sebaliknya. Menjilat bagaikan orang-orang yang ada dilingkaran setan ayahku.
Setelah itu, aku mencoba keluar berkenalan dengan orang-orang yang berada jauh di bawah kemewahan keluargaku. Melihat kehidupannya, penderitaannya, dan ketegarannya. Dari yang sehari makan dua kali, sampai ada yang sekali makan dalam dua hari. Mereka dilorong-lorong beton yang kokoh, yang dibangun dari bagian kecil uang mereka, yang menjadi perlintasan utama kaum kaya dengan deretan mobil mewahnya. Dan mereka memanfaatkan itu untuk mereka tinggali, untuk mereka teduhi, untuk hari esok yang kian gelap.
Para orang tua di sana bekerja mengais sampah yang terbuang sembarangan oleh kaum kaya, dari sampah mereka berharap mengubahnya menjadi emas. Namun apa daya, emas tersebut hanya mampu membuatnya tersenyum sampai keringatnya belumlah hilang. Diawal menyuap nasi mereka tersenyum dan diakhir mereka kembali memikirkan, apa yang mereka makan untuk esok, atau bahkan mereka kembali berpuasa. Entahlah tak ada sedikitpun senyum yang tertahan dari mereka lama-lama, semuanya pergi dalam seketika.
Namun, anak-anak mereka tetaplah riang. Seperti anak-anak pejabat. Padahal mereka hanya seorang anak jalanan. Di tengah panasnya mentari, dan terkadang di tengah dinginnya malam, mereka selalu tersenyum. Seakan mereka bahagia. Ya, memang sesungguhnya mereka sangat bahagia dari kondisi yang mereka rasakan dan miliki, berbeda dengan bahagia yang ada dan sudah tertanam dalam diriku, kemewahan. Dan hal tersebut sedang ku buang jauh-jauh.
Saat ku berjalan disekelilingnya, aku tak melihat bangunan yang layak untuk kehidupan manusia. Aku hanya melihat, bangunan yang sedikit terbuat dari papan yang lusuh, sedikit kardu menambal kekurangannya, dan kain yang sudah tampak kotor. Tak ada bangunan yang terbuat dari pondasi rumah yang selayaknya. Mereka bilang kepadaku, “untuk apa yang bagus, toh nanti kami juga harus pindah ke lorong lainnya saat petugas merazia kami.”
Namun, dibalik semua itu aku tampak kaget, karena di antara susunan bangunan semi permanen tersebut, tampak ada papan tulis menggantung di salah satu sudut. Tidak tampak bersih, masih ada bekas tulisan-tulisan yang terhapus, tampak belum lama digunakan, dan di atasnya ada sebuah tulisan “Aku Anak Indonesia” dan diiringi dengan tulisan “Aku Cinta Indonesia.” Aku bertanya pada salah satu ibu, ia menjawab “itu kerjaannya si Tama, salah satu anak penghuni sini juga.”
Tulisan “Aku Anak Indonesia” membuat ku menenteskan air mata, mereka diajarkan mengakui bahwa mereka Anak Indonesia, padahal mereka tak menikmati Indonesia mereka. Hidup miskin, namun di saat yang bersamaan ada anak Indonesia yang kaya dan bahkan sangat kaya. Hidup menderita, namun di saat yang bersamaan ada yang bahagia. Mereka sama-sama anak Indonesia. Namun Indonesia mereka saling bertolak belakang. Air mataku semakin deras, ketika mereka seharusnya membenci ke Indonesiaannya, mereka juga diajarkan untuk Cinta kepada Indonesianya. “Siapa Tama?” dalam batinku bertanya.
Hari itu memang sudah sore, aku ditemani dengan sahabat ku, menyusuri lorong penderitaan tersebut. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar nyanyian, koor anak-anak sedang mengharmonisasikan masing-masing suara mereka supaya terdengar merdu. Namun, apa yang di rasa, mereka begitu merdu dan syahdu disbanding dengan paduan suara kampusku. Mereka menyanyikan bersatu seakan merekalah orang Indonesia yang sebenarnya dengan segala kenikmatannya. “Indonesia ku tidak kulupakan, kan ku kenang sepanjang hidupku . . .” dan seterusnya. Mereka bernyanyi seakan mereka di masa mudanya nanti akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah mereka. Mereka tak akan melupakan Indonesia mereka, yang penuh penderitaan dan air mata. Suara itu semakin dekat semakin nyaring terdengar, barisan anak-anak muncul di depan pandangan mataku. Mereka berbaris dengan rapid an tertib, berjalan dengan badan tegap, seolah dengan pasti dan yakin hari esok adalah milik mereka.
Mereka berbaris, seperti sedang melaksanakan upacara. Yang lebih kecil berada pada barisan terdepan. Lalu dilanjutkan dengan yang lebis tinggi dan seterusnya. Pakaian mereka sungguh apa adanya, sobekan baju dimana-mana, namun semangat mereka tak terkira. Sampai pada barisan terakhir, ku melihat seorang pria muda mengawasi dari belakang. Tinngi kurus, kulit hitam tampak mengkilat dengan keringat yang bercucuran, rambut ikal, seumuran denganku. Sampai pada pemukiman mereka, mereka berhenti dan memberi salam, lalu bubar barisan setelah mendapat izin dari pemuda tersebut. Aku mencoba mengingat, rupanya aku pernah kenal dengan dia. Pemuda lusuh itu.
“Kamu Putri?” Ia bertanya sambil mendekati ku, aku masih mencoba mengingat-ingat siapa sosok pemuda ini. Sahabatku menngangguk mengiyakan pertanyaannya. Mendengar jawaban tersebut ia tampak puas.
“Aku Tama, teman kelas dua belas mu dahulu di sekolah. Memang sulit mengingat teman seperti ku. Jauh dari dunia kalian. Apalagi kita tak pernah sekalipun berbicara. Tentu kamu sulit menerka kembali ingatanmu tentangku.” Ucapannya meringankan pikiranku, ya aku ingat dia. Dia adalah Tama, Seno Pratama teman sekelas ku. Ia berkesempatan sekolah di tempatku karena mendapatkan beasiswa. Dia merupakan yang sesungguhnya murid terpintar di sekolah. Namun dia tak pernah mendapatkan juara kelas. Selalu kalah dari kami yang orang tuanya menjadi donator dalam sekolah. Termasuk aku.
“Apa kabarmu?” Aku bertanya sambil menjulurkan tangan untuk mengajaknya berjabat tangan. Namun ia tak meresponnya.
“Aku baik, tanganku kotor dan tak mungkin ku berani menjabat tanganmu yang bersih tersebut.” Jawabnya.
“Santai saja, kita adalah teman, jangan terlalu merendah diri.” Tama tersenyum mendengar ucapanku.
“Apa kabar Put, apa yang sedang kamu cari di sini? Jika nanti ayahmu tahu kamu akan mendapat ceramah darinya, dan kehidupan kami mungkin akan kembali berpindah karena akan di gusur oleh rekanan ayahmu.” Ujar Tama.
Lalu kami pun lama mengobrol. Ku jelaskan kepadanya, bahwa aku sudah tidak lagi seperti dahulu. Aku kini ngekost dan menjauh dari kemewahan ayahku. Aku tak menikmatinya lagi selain untuk biaya kuliahku. Selebihnya selalu ku menolak hal tersebut. Lebih jauh aku sekarang sedang mencoba keluar dari kemewahan anak-anak kelas atas Jakarta pada umumnya. Mencoba mengenal dunia yang lain, dunia yang penuh perjuangan dan penderitaan. Dan aku bertemu denganmu di sini. Kini kita adalah teman yang lebih dari segalanya. Aku menyampaikannya pula kepadanya aku ingin berhgabung dengan dunianya. Mengisi kelas dalam sekolahnya yang sederhana dan tentu juga sekolah yang tak terdaftar secara resmi. Namun dengan semangatnya, mereka yakin akan menjadi bahagia di kemudian hari.
Kita saling bercerita dengan diri masing-masing sore itu. Ditemani oleh cahaya senja yang suci. Dilorong yang bahagia. Tama nampak ingin menyambut kehadiran ku yang tak disengaja ini dengan sajian yang sempurna, namun keadaan memaksa dia hanya mampu menghadirkan secangkir teh manis panas dan juga gorengan pisang. Dan itu tak membuat ku kecewa, bahkan membuat ku bahagia. Nampak sahabat ku sangat bingung kala itu. Ternyata aku bisa merasakan dunia yang begitu jauh dari yang aku dan dia alami selama ini. Dan sahabatkupun ikut bagagia, bertemu dengan anak-anak murid dan juga dengan guru mereka yakni Tama.
Saat-saat selanjutnya aku kembali ke sana, sambil memberikan kelas mengajar dan juga membawa koleksi buku-buku baru yang aku dapat dari uang kiriman orang tuaku. Sahabatku, Mila, selalu mendampingiku, bahkan ia pun ikut memberikan kelas.
Setiap Senin pagi aku dan Mila selalu menyempatkan ikut upacara, menaiki Sang Saka Merah Putih, menyanyikan Lagu Indonesia Raya, belajar mencintai Indonesia ini secara tulus, dari anak-anak yang tak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah dan negerinya sendiri. Mereka tampak bukan orang Indonesia, hidup miskin diantara orang-orang kaya Ibu Kota, namun ia menyakini ku, bahwa mereka orang Indonesia, walaupun mereka jauh dari perhatian orang Indonesia lainnya. Mereka yakin, Indonesia di masa depan adalah milik mereka, milik semua orang, tak ada penindasan dan diskriminasi, semua berhak menikmati Indonesia dengan selayaknya, dan pada saat itu pula aku sangat menjadi orang Indonesia dan mulai jatuh cinta pada Tama.
*bersambung*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar