Sabtu, 23 November 2013

Jalan Revolusi

Musuu-Musuh Demokrasi

Bangsa kita telah lebih dari setengah abad. Telah memiliki enam presiden silih berganti. Dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila sampai era reformasi, bangsa ini seakan menunjukkan kekokohannya. Sampai pada satu titik, rakyat dengan secara langsung memilih secara bebas dan rahasia, siapa yang menurut mereka layak menjabat menjadi wakil-wakilnya di parlemen. Dan tidak hanya itu, sejak tahun 2004, rakyat telah diberikan mandate langsung untuk menentukan siapa pemimpin mereka di negeri ini. Sungguh pencapaian yang luar biasa dalam proses demokrasi electoral negeri ini. Dalam pemilihan presiden beserta wakilnya secara langsung, Susilo Bambang Yudhoyono langsung menembuskan sebuah sejarah, ia dikehendaki rakyat untuk terus menjabatnya selama dua periode. Inilah negeri kita dengan proses demokrasi elektoralnya.

Namun, perjalanan demokrasi ini harus terus kita perbaiki. Tentunya pesta demokrasi ini bukan hanya dilihat dari segi electoral saja, namun juga harus dilihat dari amanat yang diberikan oleh pancasila dan undang-undang. Masih banyak kekurangan di sana-sini, diantaranaya demokrasi yang khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam benak kita seakan terus bertanya, apa yang salah dalam perjalanan bangsa ini dan juga perjalanan demokrasi? Kenapa sampai pada saat ini, bangsa kita belum bangkit dari keterpurukan. Untuk sebuah perubahan, tentunya kita harus mengenal musuh-musuh yang terus menjadi penghamabt kemajuan bangsa.

Pertama, mari kita tempatkan kaum korporatokrasi yang menjadi hambatan dalam perkembangan bangsa ini. Tentunya kaum ini terus-terusan menempatkan bangsa kita menjadi bangsa setengah jajahan dibawah payung imperealisme.

Langkah masuk kaum imperealis ke dalam negeri ini ialah, dengan melakukan peminjaman dana dengan bunga yang sangat tinggi ketika pemerintah secara terus menerus membutuhkan uang. Tentu saja peminjaman yang secara tidak cuma-cuma ini akan memberikan dampak negative yang berkepanjangan dalam proses pembangunan negeri. Pembayaran bunga pinjaman tersebut yang cukup tinggi memakan porsi anggaran Negara, setelah sampai kepada imperealis mereka mengembalikannya ke dalam negeri dengan menginvestasikan uang tersbut ke daerah-daerah dalam bentuk capital-industrial, yang tertarik pada sumber daya alam yang belum tersentuh.

Dalam hal yang paling wajar, menurut John Perkins dalam buku Pengakuan Bandit Ekonomi menyatakan bahwa biasanya mereka (Bank Dunia dan IMF) menentukan sebuah Negara berkembang yang memiliki sumber daya yang diidam-idamkan korporasi (misalnya minyak), mengatur pinjaman yang besar untuk Negara tersebut. Setelah beberapa waktu, mereka kembali ke Negara tersebut untuk menagih hutang dan meminta beberapa jatah, diantara hal terbesarnya adalah harga minyak yang murah. Begitulah kaum korporatokrasi bekerja.

Bank Dunia yang sebenarnya bukan bank milik dunia, melainkan milik AS, yang pemimpinnya ditentukan secara tidak langsung oleh presiden mereka bekerja sama dengan para peresahaan multinasional dan juga para kaki-tangan mereka di negeri tersebut. Melalui pembayaran hutang tersebut, uang tersebut mereka kembalikan ke perusahaan yang bekerja sama dengan mereka dan juga kepada para komparador asal negeri tersebut. Seperti dijelaskan diatas, mereka membangun capital-industrial ke dalam daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang melimpah. Mereka menghimpit kaum tani yang belum terorganisir dan belum terbiasa melawan.

Selain itu, kita juga harus mengenal apa itu imperealisme beserta ciri-cirinya. Apa benar bangsa kita berada dalam baying-bayang imperealisme. Masih dalam bukunya John Perkins tersebut, imperium adalah Negara-bangsa yang mendominasi Negara-bangsa lainnya dengan menunjukkan satu atau lebih dari ciri-ciri tersebut:

1. Mengeksploitasi sumber daya dari Negara yang didominasi,
2. Menguras sumber daya dalam jumlah yang tidak seimbang dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain,
3. Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakkan kebijakannya ketika upaya halus gagal,
4. Menyebarkan bahasa, sastra, seni dan sebagainya ke seluruh tempat yang berada di dalam pengaruhnya,
5. Menarik pajak bukan hanya dari warganya sendiri, tapi juga dari orang-orang di Negara lain,
6. Mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di Negara-negara yang berada di bawah kendalinya.

Dengan membaca ciri-ciri tersebut, dapatlah dengan jelas bahwa bangsa kita ini sedang dalam berada dalam setengah jajahan.

Kini, setelah para penduduk asli negeri ini yang menjadi komparador imperealisme asing tersebut menikmati begitu banyak pundi-pundi yang diberikan hak-hak istimewa oleh penjahat sesungguhnya, yakni AS dan para sekutunya, mereka secara perlahan mencoba masuk dalam kekuasaan. Mereka memasuki daerah eksekutif bukan untuk mendapatkan hak-hak politiknya, melainkan mencoba mengamankan pundi-pundi harta mereka dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat kecil. Mereka masuk ke dalam jajaran eksekutif dan legislative agar harta mereka terhindar dari pajak Negara. Tak ayal seperti itulah mereka ingin masuk ke dalam tampuk kekuasaan.

Tidak heran, kini Abu Rizal Bakri, Hatta Rajasa, Prabowo, Hari Tanoe dan lain-lain sedang berlomba menjadi orang berpengaruh di negeri ini. Selain itu ada cara lain, seperti menjadi sponsor utama para kandidat penguasa.
Lalu apalagi yang menjadi penghambat dari perkembangan negeri ini untuk menuju bangsa yang adil dan makmur? Selanjutnya adalah para pelaku demokrasi yang mengandalkan isu-isu feodalisme untuk meraih dukunga. Seperti; agama, suku dan budaya.

Merebaknya kembali gejala seperti ini dapat dengan mudah menggantikan politik berkewarganegaraan dan wawasan kebangsaan. Merajarelanya gejala ini dapat dengan mudah terjadinya gesekan-gesekan yang dibungkus dengan identitas primordial.

Contoh paling mendasarnya adalah islamisasi ruang publik yang bebas dari kepentingan dan dominasi. Biasanya perilaku para calon pemimpin ataupun calon anggota legislative yang akan bertarung mereka kerap kali terjebak pada politik identitas yang tanpa diminta langsung oleh pemimpin umat muslim. Mereka kerap kali dalam masa mengenalkan diri mereka kepada masyarakat dengan secara tidak malu-malu menyebutnya sebagai haji yang taat, menggunakan symbol-simbol islam, dan kerap kali masuk keluar masjid dengan janji-janji yang menggiurkan. Dan mereka seakan takut tampil dihadapan masyarakat apabila tidak ada embel-embel islamnya.

Untuk meraih sebuah perubahan, tentunya kita haruslah terus berjuang untuk mencapainya. Kita harus pandai menggunakan semua bentuk perjuangan yang terbuka dan legal yang diperbolehkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan, oleh kebiasaan-kebiasaan, dan adat istiadat di dalam masyarakat. Dalam memupuk kekuatan yang memakan waktu yang panjang, kita harus tekun dan ulet untuk mencapainya. Jangan sampai kita terjebak kepada aksi-aksi yang keburu nafsu yang tidak akan membawa revolusi Indonesia kepada penghancuran sasaran di atas. Tekun dan ulet, harus kita tanamkan pada benak kita yang peduli dan mau berjuang demi perubahan bangsa. Demi menegakkan amanah demokrasi yang tersurat dalam Undang-Undang Dasar dan Pacasila.

Salam Perubahan. LAAAAAWAAANNNNNN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae