setangkai edelweis tumbuh dan berkembang di tengah terik dan panasnya Jakarta.
kisah Dedeh, gadis desa yang menakluukan keras dan panasnya Ibu Kota.
Wajahnya lusuh, sedikit lelah. Sinar mentari pagi mampu mengurangi kelelahannya. Rambutnya tampak lepek, berkeringat. Tas jinjingnya membuat ia sedikit bungkuk. Bekal perjalanan atau bahkan pertaruhannya di ibu kota ini. Tengok kanan kiri, mencoba mencari, namun tak tertemu, karena ia tak tahu apa yang hendak dicari. Tampak ia habis melalui perjalanan jauh, melewati garis batas kota demi kota untuk sampai ke Jakarta. Mencari hidup. Mungkin saja.
Lalu bertepi pada sebuah warung makan, meminta kepada sang penjual untuk dibuatkan teh hangat, tanpa gula. Bersandar pada dinding warung, membuka tas bawaannya, seperti hendak mencari sesuatu. Telepon genggamnya ia ambil, lalu ngotak-ngatiknya seraya berharap telepon yang akan dituju segera menjawab. Namun tak ada jawaban. Dua kali ia mencobanya, namun gagal. Tiba-tiba segelas teh hangat tanpa gula tersebut disuguhkan. Ia abaikan telepon genggamnya, segera ia teguk. Ahh leganya, tampak sekali dari raut wajahnya. Ia seperti telah lama menghadirkan air tersebut. Seperti habis berpuasa satu hari lamanya.
Lalu ia mengelap wajahnya yang berkeringat. Putih, mulus tampak cantik bagi pria yang melihatnya. Rambutnya yang terkuncir ia urai, panjangnya sedikit melebih pundak, hitam seperti rambut perempuan Indonesia pada umunya. Lumayan cukup tinggi, dengan tubuh yang tampak berisi. Namun tak terlalu gemuk juga. Bibirnya tipis. Kira-kira kembang desalah ia di daerah asalnya. Umur baru mencapai 20 tahun. Memejamkan mata seketika. Ia hirup udara yang tampak kotor, yang harus ia hirup pada setiap harinya. Beda dengan udara di daerah asalnya. Lelah.
Ada gurat rindu terhadap orang tuanya. Namun ia coba untuk menahannya. Ia kembali teringat tentang perpisahannya dengan ke dua orang tuanya. Haru tangis memisahkan mereka. Namun ia menyadarinya, mereka harus berpisah untuk mencoba mencari kebaikan hidup di ibu kota. Untuk dirinya dan juga ke dua orang tuanya. Yang menambah beban rindu kampung halaman ialah di sana ia meninggalkan seorang kekasih, yang telah lama ia cintai, sejak kelas 2 SMP.
Ayahnya seorang petani biasa. Dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Lima bersaudara, ia anak ke empat. Kakak-kakaknya telah menikah. Ada yang bekerja di kampungya dan ada juga yang di ibu kota. Dan kini ia sedang menuju rumah kakaknya setelah menawarinya pekerjaan. Di salah satu mall. Menjadi SPG. Dengan rupa yang cantik ia tentu dengan mudah diterima.
Ia melekkan matanya, ia lihat telepon genggamnya tak kunjung memberi tanda bahwa kakaknya telah menghubunginya. Ia sampai tepat waktu, bahkan lebih awal sedikit. Setengah jam kira-kira.
“Pertama kali ke Jakarta ya dek?” Suara ringan khas Sunda tiba-tiba mengangagetkannya. Ternyata dari ibu warunglah suara itu berasal.
“Ia Bu, kok tahu? Lagi nunggu kakak nih, janjinya sih jam 9, tapi saya lebih cepat sampainya.” Jawabnya.
“Asalnya mana dek?”
“Cianjur Bu.”
Lalu mereka berdua saling bercengkrama. Dengan Bahasa Sunda. Mencoba untuk mempertahankan budayanya, di tengah kompleksnya budaya di Jakarta. Ia menjelaskan kepada Ibu warung, bahwa ia ditawari kerja di salah satu mall daerah Jakarta Timur. Deket Asrama Haji katanya. Ia tak mau diragukan oleh sang Ibu warung, karena mendengar pesan darinya bahwa hidup di Jakarta tuh sulit, terlebih jika tak ada tawaran kerja yang sebelumnya datang ketika kita masih di kampung. Ia pun sering mendengar celoteh ini dari para tetangga ataupun temannya di kampung. Namun, kedatangannya kali ini bukanlah tanpa persiapan. Ia siap kerja. Tak akan menjadi pengangguran dan menambah beban derita ibu kota.
Selang sepuluh menit kakaknya menelpon bahwa ia sudah ada di terminal Kampung Rambutan. Ia jelaskan kakaknya akan posisinya saat itu. Tak lama. Mereka bertemu. Meluncur langsung ke rumah kakaknya tersebut.
Saat menyusuri Jalan Raya Taman Mini ia tersadar bahwa beberapa tahun lalu saat masih di sekolah ia pernah mendatanginya. Memang dari pinggir jalan raya bangunan-bangunan anjungan daerah sedikit tampak. Ia senang, karena rumah kakaknya tak jauh dari kawasan wisata. Namun perjalanan tiba-tiba terhenti setelah melewati kawasan Taman Mini. Ia ditunjukkan sebuah Mall lumayan besar, ia diberitahu bahwa di sanalah ia akan bekerja nantinya. Wajahnya semakin berseri. Entah kenapa.
Perjalanan masih lumayan jauh, menyusur Jalan Raya Pondok Gede, menuju perbatasan antara Jakarta dan Bekasi. Ia baru tahu bahwa kakaknya bukan tinggal di Jakarta, melainkan di daerah perbatasan ibu kota dengan Jawa Barat. Berarti ia tidak jadi tinggal di Jakarta, masih tetap di Jawa Barat hanya berbeda kota saja.
Ia mudah sekali menyesuaikan dirinya kepada lingkungan baru. Tidak lama tinggal di rumah kakaknya, ia sudah mendapatkan teman-teman baru. Dan di tempat kerja pun sama, ia mudah mengenalkan dirinya kepada orang-orang yang baru dikenalnya. Tidak hanya kepada para perempuan ia mengenalkan diri, tapi juga kepada kaum pria ia mudah mengakrabkan diri kepada mereka yang datang mencoba untuk mengenalnya. Sejenak ia lupa akan kehidupan kampungnya.
Saat libur bekerja biasanya ia mencoba melihat-lihat suasana ibu kota, bersama teman-teman barunya. Ke Monas, Kota Tua, Kebun Binatang Ragunan dan sebagainya. Namun, lebih sering ia main ke rumah-rumah teman kerjanya. Kebiasaan-kebiasaan kehidupan di kampungya sudah mulai terkikis. Mengaji sehabis shalat maghrib, menjalankan shalat tepat pada waktunya sudah mulai bergeser. Kesibukan kerjanya dan terkadang keasikannya bermain membuatnya ia lupa akan hal tersebut. Menghubungi orang tuanya pun sudah tak sesering dahulu. Apalagi untuk menghubungi kekasihnya, sama sekali lupa. Ia hanya memberi kabar jika kekasihnya lebih dahulu menanyakannya. Ia sudah mulai mengkotakan dirinya. Gadis Jakarta.
Mudahnya ia bergaul tidak membuat juga dirinya untuk mudah tertarik pada lawan jenis. Begitu banyaknya lelaki yang silih berganti mendekatinya ia terima begitu saja, namun ia tidak memiliki perasaan apapun. Ketika lelaki tersebut mengatakan cintanya, ia dengan halus dan jujur menolaknya. Ia seperti pemberi harapan palsu kepada lelaki tersebut. Bukan karena ia mencoba setia kepada kekasihnya di kampun, melainkan karena ia memang tidak memiliki ketertarikan kepada lelaki tersebut.
Namun ia nyaman dengan seorang lelaki. Yang tidak pernah merayunya sebelumnya. Selalu bersedia menemani ia pergi. Dan begitu dewasa ketika ia menceritakan masalah-masalah yang dihadapinya. Selalu memberikan waktunya untuk keperluan ia. Sama juga seperti dirinya, lelaki itu juga perantau. Namun, dia ngekost, tidak tinggal bersama orang tua atau keluarganya yang lain. Secara tak sadar ia pun mulai menaruh hati kepada lelaki tersebut.
“Deh, kamu jangan mudah percaya sama lelaki-lelaki ibu kota. Biasanya mereka buaya yang dengan mudah meninggalkan dan menyakiti perempuan-perempuan.” Nasihat kakak iparnya suatu malam, ketika saat itu ia diantar pulang oleh Ipan, lelaki yang mampu membuatnya jatuh hati.
“Iya teh, Dedeh juga gak mudah kok jatuh cinta.” Jawabnya kala itu, namun ia menampik jawabannya sendiri. Ia sadar bahwa ia sedang jatuh cinta pada Ipan.
Bersama Ipan, ia kerap kali mengunjungi kawasan-kawasan wisata Jakarta. Keluar masuk Mall besar ibu kota. Dan tak lupa juga, ia sering nonton ke bioskop berduaan. Hubungannya begitu dekat. Namun Ipan mampu memberikan kenyamanan. Ia teduh bersamanya.
Hingga pada akhirnya, di Pantai Jaya Ancol, Ipan menyatakan cintanya. Di pinggir pantai. Angin yang berhembus perlahan. Di ujung senja. Diantara ombak-ombak yang kian menepi ke bibir pantai. Ia menerima cinta kekasih barunya. Kekasih keduanya, setelah Wahyu di kampung halamannya. Ia sadar dan getir, namun ia sangat bahagia. Akan ada lelaki yang setia mendampinginya diatara kehidupan Jakarta yang keras tersebut.
Ia semakin sering berduaan dengan Ipan. Ke bioskop, bahkan pernah berlibur ke Puncak. Dan Ipan mengajaknya untuk sekalian ke kampungnya. Namun ia menolaknya dengan alasan takut orang tuanya marah jika ia hanya berpacaran untuk tinggal di Jakarta. Ipan memahaminya.
Bahkan tidak jarang ia sering menemani Ipan di Kostannya. Mereka saling mencintai, saling mencoba jujur sambil ditutup-tutupi dengan kebohongan masing-masing. Dedeh saat ini ialah Dedeh yang bukan lagi di kampung halamannya. Dedeh telah menjadi bagian dari kehidupan ibu kota.
Sampai pada suatu saat ia tidak mampu mempertahankan cintanya yang semakin membuncah. Ia tak tahan untuk memberikan segalanya kepada Ipan. Gadis desa yang kini menjadi bagian dari gemerlap ibu kota. Yang biasanya ia hanya memberikan bagian atas, kini semuanya ia berikan. Tanpa syarat, penuh cinta. Ipan memasukinya dengan tulus dan ia menerimanya dengan yakin. Ia terkena rayuan dan tak sanggup menahannya karena wanita lemah segalanya.
Mereka akhirnya melanjutkan hubungan tersebut pada beberapa kali kesempatan. Di saat mereka saling membutuhkan.
Sampai pada akhirnya ia mengandung dan tak lama kemudian Ipan pergi meninggalkannya tanpa jejak. Kakaknya berulang kali mencari tahu keberadaannya. Namun kerap kali gagal. Teman-teman kerja Ipan tak ada yang tahu keberadaannya kini.
Dedeh sering kali menangis di malam hari. Bukan karena ia sedang mengandung. Bukan karena ia takut menanggungnya di hadapan lingkung dan juga ke dua orang tuanya. Bukan ia takut menghadapi badai di hari depan yang sudah menanti. Tapi ia menangis, karena ia tahu bahwa lelaki yang ia cintai adalah seorang pengecut. Tak lebih dari seorang penjilat.
Semakin hari semakin membesar kandungannya. Kerap kali kakak, orang tuanya, dan juga teman-temannya memintanya untuk menggugurkan kandungannya. Mereka beralasan “malu” di kemudian hari. Namun ia tidak menyerah. Ia ingin membesarkan benihnya ini dengan cinta. Yang ia buat dengan rasa tulus dan yakin kala dahulu. Ia tidak ingin, benih suci ini mati karena ketakutan manusia menanggung perbuatannya. Ia tegar.
Lingkungan tempat tinggal kakaknya kini menolak kehadirannya. Ia lalu pergi mencari kostan dekat tempat kerjanya. Di tempat kerja pun awalnya pimpinan menolaknya untuk bekerja kembali. Namun ia tetap mempertahankan haknya. Ia tidak melanggar peraturan kerja. Ia selalu hadir. Tidak bermalas-malasan. Ia adalah pekerja yang kokoh dan jujur di saat jam kerja. Terlebih ia setelah menjadi karyawan. Ia memperjuangkan haknya. Ia menganggap dirinya sama seperti perempuan-perempuan yang sudah menikah lalu mengandung. Bedanya hanya pada surat nikah semata, selebihnya mereka sama. Dan ia berhasil.
Keberhasilannya bukan ia anggap sebuah kebangkitan dari keterpurukan seperti yang orang lain katakan. Ia tak merasa terpuruk dengan mengandung seorang anak di luar pernikahan. Ia merasa karena dirinya tulus dalam melewati perjalanan hidupnya. Ia berhasil berdiri, di saat orang lain menilainya terjatuh. Ia membesarkan anaknya dengan cinta walaupun tanpa seorang ayah.
Selain itu, ketika anaknya nanti menanyakan di mana ayahnya. Ia akan katakan bahwa ayahnya meninggal di saat medan perang. Ayahnya meninggal di saat sedang mencari uang untuk membelikan susu kamu di waktu kecil. Karena ia ingin, anaknya tumbuh dan mengenal ayahnya sebagai sosok yang tangguh dan pejuang bukan seperti nyatanya. Seorang ayah yang lemah dan tak mampu bertanggung jawab.
Ia menjawab keraguan kepada wanita pada umumnya. Ia bukanlah sosok yang lemah dan lari dari kenyataan. Ia membesarkan anaknya walau tanpa ayah. Ia wanita, yang terus berjuang untuk dirinya dan anaknya. Terlihat saat ia memperjuangkan haknya pada pekerjaannya. Ia merasa tak melakukan kesalahan satupun pelanggaran yang tertuang pada saat ia menandatangani kontrak kerjanya. Dan merasa dan berhak untuk terus bekerja, sampai ia memang melakukan sebuah kesalahan yang memastikannya berhak untuk dikeluarkan.
Ia sangat menyukai lagu-lagu Payungteduh yang membuatnya menjadi kerasan saat menyusui anaknya di malam dan di pagi hari. Saat malam ia berirama di ujung malam muliailah sekarang kau bernnyanyi bersamaku. Dan di pagi hari ia bersenandung penuh suka biarkan matahari, membuka mata, membangunkan alam yang lelah.
Tulus sekali ia membesarkan anaknya hingga tumbuh dewasa. Perempuan hebat sekaligus menjadi Ibu yang kuat.
Setangkai Edelweis, berhasil menaklukan kerasnya hidup di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar