Kamis, 28 November 2013
Sebuah Rahasia
Jakarta semakin padat semakin hari. Tak ada cuaca yang cocok untuk ibu kota saat ini. Kemarau hanya akan membuat udara semakin panas. Efek rumah kaca, polusi knalpot, asap rokok, dan sinar mentari mencoba menyatu membunuh penduduk ibu kota. Musim penghujan, ah, jangan ditanyakan lagi, macet dan banjir membuat umur penduduknya semakin pendek. Entahlah, apa yang diharapkan lagi. Jakarta.
Jangan salah, macet, polusi, efek rumah kaca, banjir, dan sebagainya hanya membuat manusia Jakarta menjadi pengeluh. Mereka berlomba, meng update nya dalam social media. Keluh kesah mereka tertuang di sana. Mereka berkeluh banjir, namun masih membuang sampah sembarangan. Mereka berkeluh macet, namun masih duduk di atas kendaraan pribadinya. Mereka berkeluh panas, namun menjadi penyumbang bagi polusi. Mereka, penduduk Jakarta, pengeluh.
Namun, bukan itu yang menjadi persoalan Agus malam ini. Dua tahun setelah kelulusannya, membuat iya merasa rindu dengan masa kuliah. Setelah lulus ia tak lama menganggur. Bekerja di Bank. Menjadi teller. Sebuah pekerjaan yang membuatnya bosan namun bahagia ia menjalaninya. Sedikit saja bahagia itu ada. Hanya sedikit.
Datang pagi, mengerjakan tugas, buat laporan dan pulang menjelang petang. Selayaknya begitulah semua pekerjaan. Membosankan mungkin. Sedikit mungkin ia tangkal. Mungkin juga ingin ia muntahkan.
Ia kini kembali teringat akan masa kuliahnya, melompat begitu jauh dari tutinitas yang ia lakukan kini. Begitulah hidup, bagaikan cerita. Kadang melompat begitu jauh. Masa muda membayangkan kebahagian nanti di masa tua. Dan masa tua merindukan kenangan masa muda. Bahkan seorang pasangan yang telah menikah kadang meresakan rindu pada mantan kekasihnya dahulu. Melompat jauh. Yang tak bisa kita hindari.
Udara dingin kaki Gunung Gede Pangrango segera menyergap rombongannya. Pukul 02:30 pagi Agus dan kawan-kawannya sampai di bawah kaki Gunung tersebut. Jumlahnya 7 orang dalam rombongan tersebut, termasuk dirinya. 4 lelaki dan 3 perempuan. Pasangan kekasih, dan sisanya 1 perempuan dan 2 lelaki saling bersahabat yang sama-sama mencintai Gunung.
Kala itu ialah masa-masa sulit mereka dalam kehidupan di kampus. Tugas-tugas kuliah yang kian menumpuk menjelang UAS. Masa-masa Pemira yang begitu intrik dari para kalangan politikus mahasiswa. Membuat mereka jenuh. Terlebih mereka melihat kampusnya sudah seperti Stadion Sepak Bola. Atribut-atribut dari klub-klub sepak bola begitu melekat pada sebagian besar mahasiswa. Sungguh menjengkelkan bagi dirinya dan juga kawan-kawannya.
Salim dan Nara, adalah ke dua teman sekelasnya. Mereka sama dalam kepribadian, pemikran dan logika mereka. Sama-sama mencintai Gunung dan tertarik pada sebuah pemikiran politik. Berkali-kali mereka, tidak hanya mendaki bersama, namun juga sama-sama membuat penelitian kecil untuk membahas fenomena politik. Jauh memang hubungan mendaki dan politik. Namun mereka menjalaninya dengan begitu dekat. Antara mendaki dan meneliti politik.
Nara, ia biasa panggil Genduk, karena berasal dari Yogya. Dan Salim peranakan asli Betawi. Dan dirinya, Agus berasal dari Sunda.
Setibanya di pos pertama, mereka istirahat sejenak di sebuah warung nasi, membeli bekal untuk sarapan nanti, setiba sampai di dekat pancuran air panas yang hadir di tengah-tengan Gunung Gede Pangrango. Sehabis subuh mereka mulai mendaki, dan Agus memimpin doa. “Tidak ada salahnya kita berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan keselamatan dan kemudahan selama melakukan pendakian.” Katanya saat memimpin rekan-rekannya berdoa.
Walaupun sudah berkali-kali mereka daki, namun hal tersebut tak membesarkan dirinya dan melawan kekuasaan Tuhan untuk selalu memohon petunjuk dari-Nya.
Udara mungkin masih berada di bawah titik normal saat mereka mulai mendaki. Awalnya mereka bertujuh jalan beriringan, namun lama kelamaan, Agus, Salim dan Nara meninggalkan dua kawannya yang harus dengan sabar membimbing kekasihnya yang pertama kali naik Gunung. Nara jalan begitu gagah, seakan ia bukan perempua. Tapakan kakinya begitu kokoh dan terlebih ia sudah menguasai trek pendakian. Ia dan Salim bergantian sesekali mengawasi Nara, dan sebenarnya Aguslah yang selalu mengawasi jejak langkahnya Nara. Salim hanya tersenyum sinis ke dirinya. Salim tahu bahwa dirinya memncintai Nara, namun ia tak pernah berani ungkapkan.
Setibanya di kawasan air panas mereka bertiga istirahat, sambil menanti kawannya yang tertinggal. Tepat di atas kucuran air panas mereka merebahkan badan sejenak. Pancaran sinar mentari yang sudah mulai bersinar menyambut wajah mereka. Indah sekali pagi itu, karena ia mampu melihat kecantikan alamiah wajah Nara, dikombinasikan dengan pancaran sinar mentari yang masih jujur, yang belum ternoda oleh polusi udara. Selama istirahat dirinya selalu menatap Nara secara diam-diam, seperti cintanya.
Mereka sampai puncak menjelan pukul 02:00 siang, hampir sepuluh jam mereka jalan. Puncak Gunung Gede, yang dikombinasikan dengan tebing-tebing yang terbentuk begitu indah. Dan juga kawahnya yang tak kalah dengan kawah-kawah Gunung-Gunung lain di Pulau Jawa. Mereka makan siang di puncak, dan lagi-lagi sambil menunggu kawannya yang tertinggal. Tak ada perbincangan diantara mereka bertiga selama mendaki. Mereka focus, mencapai puncak tepat pada waktunya, dan perkiraan tersebut meleset satu jam lebih lama. Karena mengantri saat ingin melewati “tanjakan setan”. Jalur ke Gede memang hanya ini yang menyulitkan dan jalur setelahnya, agak curam. Berbeda dengan jalur menuju Pangrango, yang hampir setiap jalurnya curam, tanah liat dan banyak sekali pohon-pohon yang bertumbangan. Sehingga akan menyulitkan mereka-mereka yang ingin nge-camp di Lembah Mandalawangi Pangrango. Keril mereka akan sering tersangkut batang pohon yang bertumbangan.
Sedangkan jalan ke Gede hampir sama seperti jalur selama sampai ke Kandang Badak. Undakannya terbantu dari batu-batu kali yang tersusun rapi. Jelas lebih banyak yang ingin menuju Puncak Gede ketimbang Puncak Pangrango. Lembah Suryakencana yang begitu luas, membuat nilai plus ketimbang Lembah Mandalawangi di Pangrango.
Mereka bangun tenda di atas bukit-bukit kecil Suryakencana, agar sedikit mengurangi udara dingin. Jam empat sore mereka sampai Suryakencana. Melewati deretan pohon bunga keabadian, Edelweis. Yang saat itu belum berbunga. Karena bukan pada musimnya.
“Capek gak Nduk?” Tanyanya kepada Nara.
“Enggaklah, lw kali tuh yang capek, muka lw lemes begitu.” Timpal Nara, sambil mengambil logistic yang ia sengaja simpan selama perjalanan, untuk dinikmati di puncak.
“Si Agus naik Gunung mah enggak pernah capek, dia capek sama perasaannya doing tuh Ra.” Salim nimbrung seketika. Sebuah serangan awal untuknya. Dan untungnya tak mengerti akan hal tersebut.
“Kasian Lim si Agus, udah berumur belum pernah juga pacaran. Perasaannya tersiksa kali hahahaha.” Nara semakin memperburuk keadaaan.
Tawanya Nara memang lepas, sehingga kerap kali membuat orang lain kaget bagi yang pertama kali mendengarnya, kenapa perempuan secantiknya tertawa seperti itu, seperti orang Betawi tepatnya. Lepas, bahagianya utuh. Dirinya diam saja, menyimak Salim dan Nara menyudutkan dirinya.
Bulan kini menggantikan matahari. Begitu terang dan Nampak dari Suryakencanan. Purnama yang indah. Sebuah kebetulan. Menikmati cahaya Purnama dari Suryakencana merupakan sebuah keindahan tersendiri. Lembah bermadikan cahaya purnama tersebut. Malam menjadi tak begitu dingin.
Jam 11 semua memutuskan untuk tertidur. Agus tak juga kunjung merem matanya. Entah kenapa. Sudah berupaya dengan keras tak kunjung juga lelap. Gelap tenda tak mampu untuk melihat wajah para sahabatnya. Ia, Nara dan Salim satu tenda, sementara dua kawan lainnya satu tenda dengan kekasihnya.
Jam satu pagi, saat purnama tepat di atas lembah Suryakencana begitu dekat dan Nampak Agus keluar. Turun ke bukit, melihat pemandangan yang amat jarang ia saksikan, meskipun telah berkali-kali naik ke Puncak Gede. Baru kali ini ia menemui Purnama. Rebahan ia Lembah tersebut. Nyanyi dalam hati. Entah nyanyian apa.
Kembali mendekat tenda, memasak air, membuat api kecil-kecilan untuk menambah kehangatan badan, Nara tiba-tiba keluar. Ia kaget akan kehadiran Nara.
“Kenapa lw nduk?” Tanyanya.
“Gak bisa tidur gw. Lw dari kapan di sini? Kok gak bangunin gw.” Protes Nara kepadanya.
“Gak enak mau banguninnya.”
“Purnamanya bagus bener. Cahayanya menembus dedaunan. Sampai ke tanah. Wangi.”
“Iya, muka kita juga jadi keliatan hehehe.” Dirinya begitu menikmati pancaran cahaya Purnama yang jatuh ke wajahnya Nara. Sejuk sekali. Seperti tadi pagi, saat mereka istirahat di air panas, sinar mentari memberikan kesejukan pada wajah Nara. Sesekali ia memandangi Nara. Nara pun sadar, dan ia berkali-kali memberikan senyum kepadanya, syahdu.
Agus makin mencintainya, dan semakin memendamnya. Tak ingin bahagia Nara berkurang. Karena ia tahu, bahwa yang mencintai Nara adalah lelaki-lelaki yang bermateri lebih dan tampan. Dan ia sendiri, tak berani bersaing dengan mereka. Takut mengurangi kebahagiaan Nara. Dengan hadirnya mereka, kehidupan Nara menjadi mudah. Mereka memiliki kendaraan pribadi, yang dengan gagah menawarkan dirinya untuk mendampingi kemanapun Nara pergi. Sedangkan dirinya, Agus hanyalah anak muda yang telah menyatu dengan alam. Tidak berkendaraan pribadi. Tak bertampang ganteng. Dan berekonomi pas-pas an.
Hingga akhirnya kini ia sadar, akan ingatannya tentang begitu cantiknya wajah Nara ketika cahaya purnama menyempurnakan wajah cantiknya di Lembah Suryakencana. Cintanya masih tersimpan rapih dalam hati, tanpa sepengetahuan Nara. Baginya, cukuplah bahagia, hubungan mereka disatukan oleh kepribadian, pemikiran dan logika yang sama. Ia menundukan proses alamiah yang mendasar bagi setiap manusia bahwa cinta harus memiliki dan diungkapkan. Baginya ialah tidak. Cinta dan rindu adalah rahasia, yang kesetiaan menjadi tujuan akhirnya.
Agus penakluk Gunung, yang bertekuk lutut pada seorang perempuan. Menyimpan sebuah rahasia dalam setiap pendakiannya.
pernah dimasukkan ke kompasiana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- ahmad fauzi
- bekasi, jawa barat, Indonesia
- sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar