Kamis, 07 November 2013

Ekalaya Seno Pratama

Nyanyian Anak Negeri

Bagian Kedua

Dia adalah Tama, seorang temanku di waktu SMA. Sesungguhnya dialah yang menjadi murid terpintar diantara seluruh siswa di sekolah. Ia sederhana, kehidupannya terkadang jauh di luar dari kehidupan kami para siswa lainnya. Bukan karena ia menghindar, dia adalah sunggguh pria yang percaya diri, namun karena dia memang sengaja kami buang dari kehidupan kami sesama siswa. Hal itu terjadi, karena kami para siswa lainnya berasal dari kelas menengah atas, dengan latar belakang ekonomi yang cukup mewah. Sedangkan dia berasal dari keluarga miskin kota, yang bisa sekolah di tempat kami karena mendapat beasiswa dari Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Jakarta. Bukan seperti kami, yang sekolah di sini karena mampu memberi uang lebih kepada petinggi sekolah.

Oh iya, sesungguhnya pada masa sekolah dia lebih tepat jika bukan disebut sebagai teman. Dia hanya mengisi satu jatah bangku kosong yang dikhususkan untuk murid yang mendapat beasiswa. Bukan teman, karena dia sangat jarang bahkan tidak pernah diajak berbicara dengan kami. Kaum priapun menjauhinya, hanya ada satu siswa yang mendekat kepadanya, yaitu dia adalah Karim, anak penjaga sekolah yang diberikan hak khusus untuk sekolah di tempat kami. Mereka adalah dua siswa yang berlatar belakang sama. Maka wajar mereka berteman.

Dia asli Jawa, ayahnya orang Solo dan ibunya asli Semarang. Tinggal di Jakarta sejak kecil. Semenjak kelas 4 SD ia mendapat beasiswa dari Dinas Pendidikan Kota Jakarta, sampai ia tamat. Sungguh murid yang luar biasa. Dan terakhir ku dengar semasa sekolah ibunya meninggal, namun diantara kami tak ada yang menjenguknya. Ya, sungguh manusia macam apa kami pada masa itu.

Bertubuh kurus dan tinggi, berkulit hitam, dan hidungnya sedikit mancung. Tidak terlalu hitam, sebenarnya dia adalah berkulit manis, jika ku perhatikan. Setiap ada kuis dari ibu bapak guru ia selalu menjadi peserta pertama, dan mendapat nilai yang tinggi. Di kelas sungguh tak ada yang menandingi kecerdasannya. Namun jika sudah masuk lingkup luar, misalnya ada perlombaan cerdas cermat atau semacam olimpiade ilmiah ia tak pernah diberi kesempatan untuk ikut serta, kesempatan itu justru diberikan kepada ku dan siswa-siswa lainnya yang berlatar belakang seperti ku, karena pihak sekolah takut orang tua kami marah apabila anak-anaknya tak berpartisipasi pada perlombaan ilmiah. Sungguh menyedihkan baginya hal tersebut, namun tak membuatnya berputus asa.

Sekolah tidak pernah datang terlambat, dan tidak pernah pulang pertama. Waktu istirahat tidak pernah ada pada lingkungan kami para siswa lainnya, ia pergi menuju kamar sahabatnya yakni Karim yang ayahnya mendapatkan satu kamar khusus untuk tinggal di lingkungan sekolah demi menjaga seluruh inventaris sekolah. Ia berdua di sana. Makan siang dengan makanan yang ia bawa dari rumah, dan terkadang ia berpuasa, lebih tepatnya karena memang tak ada makanan yang ia bisa makan untuk hari tersebut.

Ayahnya adalah seorang pengepul barang bekas. Tinggal di lorong jalan layang daerah Jakarta. Ibunya telah meninggal, dan tak memiliki adik. Ayahnya tak memutuskan untuk menikah lagi. Ia berkonsentrasi untuk terus mencari biaya tambahan untuk keperluannya. Ayahnya dikenal memiliki kelebihan dalam ilmu agama, beliau dihormati dalam lingkungannya. Maka tidak heran jika aku sering melihat betapa salehnya Tama di sekolah. Ia pernah ingin mendirikan eskul rohis, namun gagal, karena minim peminatnya. Itulah kami, para murid yang kaya raya, jauh dari ketertarikannya pada nilai-nilai agama.

Aku sungguh tidak tertarik pada kala itu untuk mengenal Tama. Aku masa itu masih ingin menjadi bagian dari kemewahan harta yang dimiliki oleh orang tuaku. Dan aku juga masih ingin menjaga gengsiku kepada teman-teman yang berlatar sama sepertiku. Dan aku juga malas jika berkenalan dengannya dan orang tuaku mengetahuinya, maka itu akan sedikit menghambat kemanjaanku kepada mereka. Maka aku seperti teman-temanku waktu itu, manusia yang tak memiliki rasa persamaan kepada sesama. Manusia kelam yang berasal dari kesialauan harta orang tuanya.

Iya gagal memasuki bangku perkuliahan, karena tidak mendapat beasiswa lagi dari Dinas Pendidikan. Waktu itu, hanya anak-anak yang berada dalam tiga besarlah yang memiliki kesempatan mendapatkan beasiswa kuliah. Sedangkan ia tidak ada dalam tiga besar tersebut. Bahkan terlempar jauh dalam posisi sepuluh. Sungguh memukul dirinya. Telak, bahkan mampu meng KO kan dirinya dalam hitungan detik. Ini terjadi pada kelas dua belas. Nilainya diperkecil sedemikian rupa, agar anak-anak para donatur berada dalam posisi sepuluh besar.

Ku dengar ia sempat sakit akan kejadian tersebut. Namun apa peduliku padanya, aku tak tertarik mengerahui hal tersebut. Lagi-lagi kuperjelaskan, ini terjadi pada masa sekolah, sebelum aku keluar dari lingkungan rumah yang hanya menawarkan dan melihat seseorang dari kemewahan harta.

Ia gagal kuliah, dan gagal meraih pekerjaan di Ibu Kota. Sehingga akhirnya kini ku bertemu kembali padanya. Dua tahun setelah kelulusan kami dari bangku SMA. Dan satu tahun setelah aku keluar dari lingkaran manusia yang haus akan harta dan tahta.

Sebenarnya nama aslinya adalah Seno Pratama, aku sengaja menambahkan Ekalaya di depannya, karena aku melihat kesamaan antara tokoh Ekalaya dan dirinya. Ekalaya adalah seorang pemanah yang mengalahkan kemarihan Arjuna. Ia sempat mengajukan permintaan kepada Resi Dorna seorang gurunya Arjuna untuk ikut menjadi muridnya. Namun, usahanya gagal, karena dalam benak Resi Dorna ia hanya ingin melihat Arjuna seorang yang menjadi pemanah nomor satu di dunia ini. Maka Resi Dorna menolak Ekalaya untuk menjadi muridnya. Ekalaya terus berusaha, namun ia hanya mendapat restu dari Resi Dorna untuk menjadi pemanah. Senang bukan kepalang Ekalaya, dan ia pun kembali ke hutan, berlatih memanah dengan semangat jiwanya atas restu Resi Dorna tersebut, walau tertolak menjadi gurunya.

Suatu saat Arjuna pergi berburu dalam hutan, ia mengincar Kijang dalam pandangannya, namun apa daya, ketika ia sedang mengambil ancang-ancang ia didahului oleh seseorang, lima anak panah menancap tepat di dada Kijang tersebut, orang itu ialah Ekalaya. Arjuna menjadi durja pada saat itu, siapa yang mampu mengalahkan kemarihan memanahnya. Arjuna mendapati seorang pria seumurannya, keluar dari tempatnya memanah. Ekalaya.

Arjuna menanyai Ekalaya perihal dirinya. Dan Ekalaya menjawabnya dengan menyebut Resi Dorna adalah gurunya. Arjuna membawanya kehadapan sang guru tersebut, ia mengadu bahwa Ekalaya mengakui dirinya sebagai gurunya. Dalam hati Resi Dorna tersentak dan kaget, bagaimana ada murid yang tidak belajar secara langsung kepadanya mampu memiliki kemarihan memanah, dan tentunya ia pun bangga, karena dirinyalah yang dianggap sebagai guru. Namun ia sadar, bahwa Arjuna adalah murid dan juga putra raja yang manja, dan sangat ambisius menjadi pemanah nomor satu di dunia. Maka Resi Dorna dengan berat hati mengajukan permintaan kepada Ekalaya untuk melakukan tradisi guru-dakshina. Inilah tradisi antara guru dan murid yang baru saja dilimpahkan ilmunya, murid memberikan sebuah hadiah ketika keilmuannya sempurna. Dan Resi Dorna meminta kepada Ekalaya untuk memotong ibu jari tangan kanannya dan menyerahkan kepadanya, dan Ekalaya seorang murid yang patuh dan cerdas memberikannya dengan senang hati. Jadilah Arjuna menjadi pemanah nomor satu di dunia.

Begitupun dengan apa yang dialami oleh Tama. Ia murid tercerdas, namun ia harus mengakui, kecerdasannya mampu dikalahkan oleh kekuatan harta dan kemanjaan kami. Aku menangis saat semuanya membuatku sadar. Ekalaya dan Tama adalah dua orang yang cerdas dan patuh, namun kalah dari orang-orang seperti kami yang lebih memiliki kekuasaan.
Kini semuanya telah terjadi, aku bertemu kembali dengan Tama, saat aku sedang berjalan-jalan mengenal dunia yang amat jauh dari kehidupanku selama ini. Melihat secara langsung kondisi rakyat miskin di ibu kota. Aku sungguh terharu melihat keadaan mereka. Hingga pada akhirnya nyanyian anak-anak membuyarkan pikiranku. Mereka bernyanyi, memuja Indonesia, Negara yang telah membuangnya dari peradaban. Dan diantara anak-anak tersebut aku melihat Tama dengan sabar dan tegap membimbing mereka. Saat itulah kami berdua berbicara lebih dari segalanya.

Ia bercerita, ketika ia merasakan kekecewaannya karena gagal mendapatkan beasiswa untuk masuk perguruan tinggi ia jatuh sakit. Seminggu ia tak mau keluar dari kekecewaannya. Barulah ketika ayahnya kesal melihat dirinya, ayahnya menamparnya dengan sangat keras. Membangunkan tubuhnya sambil berkata tegas, “sampai kapan kamu mau seperti ini, kecewamu tak berarti untuk langkah selanjutnya, semua telah terjadi, kita kalah akan keadaan, lalu kamu mau terus menerima kekalahan ini. Bangun Tama, bangun. Tegakkan kepalamu, ajarkan anak-anak di sini membaca menulis, kamu berikan mereka pengarahan, dan gemparkan dunia bahwa anak-anak kolong jembatan mampu membuat sebuah karya tulis yang menakjubkan. Itu bakatmu, tularkan kepada mereka.”

Aku tahu, sejak sekolah Tama memang memiliki kelihaian dalam membuat tulisan. Ia belajar secara ototdidak. Ia rajin membaca karya-karya Pramoedya, Taufik Ismail, dan lain-lainnya dari buku yang ia beli di penjual buku-buku bekas. Berkali-kali tulisannya masuk dalam jurnal sekolah. Walaupun ia adalah murid jurusan IPA namun tak kalah bagus tulisannya dengan murid jurusan Bahasa.

Setelah tamparan dari ayahnya tersebut, ia sadar, ia kalah dan harus bangkit. Aku kaget, ketika ia bangkit ia memutuskan kembali ke sekolah kami. Ku kira ia ingin mencaci jajaran petinggi sekolah, ternyata ia menemui Karim dan ayahnya, agar diberikan kesempatan untuk mengambil botol-botol bekas minuman para siswa, agar menjadi penghasilannya. Ia mengatakan akan mengambilnya di malam hari setelah aktifitas mengajar anak-anak sesamanya selesai. Ayahnya Karim memenuhi permintaannya. Jadilah ia pengepul barang bekas, seorang guru, dan juga seorang guru mengaji bagi kaumnya di lorong jalan layang.

Ia tidak hanya mengajar anak-anak, untuk para ibu-ibunya pun ia ikut memberikan pengajaran membaca. Ini agar mereka tak mudah tertipu dengan orang asing.

Oh iya, jangan kita membayangkan tempat tinggal mereka kotor dan kumuh. Semua tertata rapih. Bahkan ada tanaman-tanaman yang baru mereka tanam, untuk ikut memberikan ruang hijau yang layak di Jakarta. Barang-barang yang telah mereka kumpulkan tidak ditumpuk sembarangan, disediakan gudang khusus untuk menyimpannya. Ruang bermain dan belajar untuk anak-anak sangat nyaman walaupun berada di ruang terbuka. Di sekeliling mereka membuat bulatan untuk belajar, di sekelilingnya ada tanaman kecil menggantung. Ini tampak sejuk, walaupun berada di lorong jalan layang. Itu semua adalah peran serta Tama, ialah pengusulnya, membuat lingkungan sehat diantara kotornya Jakarta.

Begitulah Tama, sosok yang baru ku kenal, walaupun sudah lama saling bertemu. Pemuda tangguh dan cerdas, memiliki cita yang amat mulia. Berjuang untuk kaumnya dan membawa mereka untuk mengguncangkan dunia dengan karya tulis.
Dan kini aku, Kame Dea, ikut serta dalam citanya tersebut. Aku sengaja membuang nama Putri ku dari nama pergaulan ku. Aku ingin dikenal dengan sebutan Dea untuk orang-orang yang baru mengenalku. Ingin menolak nama Putri yang selama ini membuat ku terlena dengan kemewahan harta orang tua ku, sehingga terkadang membuat ku selayaknya menjadi putri dalam istana. Manja, lemah, dan tak bertanggung jawab.

Ke depannya Tama ku pinta untuk memanggilku Dea, agar ia melupakan aku yang dulu, dan kenal dengan diriku yang baru.
Di lorong jalan layang yang bising, kini ku berjalan.

*bersambung*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae