Pertarungan kepentingan. Jika dahulu pemilik media merupakan kerabat dekat penguasa, kini media berada dalam satu genggaman satu orang sekaligus (penguasa, pengusaha, dan pemilik media).
Pada tanggal 3 Desember 2013 Transparency International (TI) kembali meluncurkan Corruption Perception Index (CPI) sebuah indeks terhadap persepsi publik mengenani korupsi secara global. Dan pada tahun ini, perespsi korupsi Indonesia pada tahun ini masih lebih buruk dari Negara-negara di Afrika. Imdonesia berada dalam peringkat 114 dari 177 negara. Bahkan tingkat korupsi di Indonesia masih kalah dengan Negara miskin seperti Ethiopia dan Tanzania.
Setiap hari kita kerpa kali melihat keluar masuknya pejabat publik ke gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dari mulai pejabat legislative, eksekutif bahkan sampai yudikatif. Bahkam sampai pejbata tinggi penjaga konstitusi Negara pun ikut berpartisipasi dalam kegiatan korupsi. Di lain pihak, pejabat daerah tak mau ketinggalan. Mereka banyak juga menyumbangkan para wakilnya untuk segera masuk bui karena terlibat korupsi.
Kini siapa tidak kenal dengan nama Akil Muchtar. Sebelumnya mungkin warga menengah ke bawah tidak terlalu mengenal beliau. Namanya mencuat ketika tertangkap tangan oleh KPK dalam sebuah kasus suap. Dirinya adalah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi kala itu. Lalu masyarakat tercengan. Siapa lagi yang masih bisa diharapkan oleh negeri ini untuk menuju sebuah perubahan yang lebih baik.
Media massa terutama televisi tiada henti-hentinya menayangkan kasus-kasus korupsi di negeri ini. Setiap hari bahkan hampir setiap jam, mereka melakukan pemberitaan mengenai korupsi. Kini rakyat sudah mulai resah, mereka sedikit apatis terhadap politik terlebih untuk menjalankan hak dan kewajibannya, terlibat dalam pemilahan umum. Kini masyarakat kita sudah tidak percaya lagi kepada pemerintah, angka Golput (Golongan Putih) semakin hari semakin meningkat. Karena yang mereka setiap harinya dari layar televisi adalah perbuatan Korupsi pejabat pusat maupun daerah.
Lalu bagaimana agar masyarakat kita tidak jauh terjebak dalam ketidakpercayaan mereka terhadap pemimpin? Ini menjadi tugas kita bersama. Dan dalam tulisan ini, media massa dan terutama televisi menjadi alat utama sebagai penguat atau sebagai musuh utama untuk membawa khalayak lebih dekat kepada politik. Karena, mereka sangat memiliki kedekatan dengan masyarakat. Hampir seluruh lapisan masyarakat mengakses informasi dari televisi. Ini ada satu harapan, yang bisa diandalkan.
Kelahiran stasiun televisi di negeri kita setelah angin reformasi berhembus cukup tinggi. Kini ada lebih dari sepuluh stasisun televisi nasional. Belum lagi jika ditambah dengan pertumbuhan televisi lokal yang kian menjamur di berbagai daerah. Satu potensi yang luar biasa untuk meningkatkan angak kepercayaan masyarakat untuk terus terlibat dalam partisipasi politik. Minimal setidaknya ialah mengurangi angka golput.
Seperti mengutip Ana Nadhya Abrar dalam buku Analisis Pers Teori dan Praktik, William A. Gamson menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh pekerja media agar masyarakat tetap tertarik kepada politik? Menurut Gamson, ada dua cara yakni; yang pertama adalah memberitakan korupsi dan ketidakmampuan pejabat pemerintah; dan yang kedua adalah menyediakan informasi yang bisa dipercaya untuk pembuat kebijakan. Yang kedua mudah dikatakan namun sulit dikerjakan. Namun yang lebih sering ditampilkan adalah yang pertama, pemberitaan korupsi dan ketidakmampuan pejabat pemerintah. Hal ini malah menjadi sebuah bom waktu yang terus meningkatkan angka golput. Mungkin karena media kurang menyediakan dan menyeimbangkan pemberitaan macam tersebut dengan prinsip yang kedua yang ditawarkan oleh Gamson. Maka seharusnya sudah tiba untuk media menyeimbangkan keduanya.
Namun dilain hal kita harus mempersiapkan hal terburuknya. Melihat hal yang ditawarkan oleh Gamson tersebut mungkin rasanya sulit terwujud. Lahirnya berbagai stasiun televisi bukan malah menjadi tonggak utama pers untuk memberdayakan kualitas khalayak. Lahirnya mereka tidak semata atas sebuah kepentingan dari para pemiliknya. Jika dahulu pada jaman Orde Baru kelahiran media televisi untuk menampung daya tawar dari para pengiklan yang memang pada saat itu TVRI selaku tv nya pemerintah dilarang untuk menayangkan iklan. Selain itu, pemilik media juga memiliki hubungan dekat dengan penguasa. Pada masa tersebut tv belumlah cukup berani menjadi penyeimbang dari pemberitaan-pemberitaan yang ditayangkan oleh TVRI.
Setelah era reformasi berlahiranlah stasiun-stasiun televisi baru. Mereka lahir hanya untuk berjualan. Menciptakan sebuah acara hanya untuk mencari laba dari para pengiklan setelah rating acara yang ia jual cukup tinggi. Memang tak ada salahnya mereka untuk berjualan. Namun apakah yang mereka jual itu obat atau malah racun yang terus mengegerogoti pola pikir khalayak. Itu yang perlu kita pikirkan.
Mendekati pemilihan umum 2014 permasalahan tersebut semakin mengkerucut. Jika dahulu pemilik media hanya dimiliki oleh pengusaha yang dekat dengan penguasa. Kini media berada dalam satu titik yang mewakili kesemuanya (pengusaha, penguasa dan pemilik media). Menurut Veven SP. Wardhana dalam Budaya Massa, Agama, Wanita, ia mengatakan jika penguasa menguasai media, bahkan penguasa adalah pemilik media itu sendiri, hanya pembenaran belaka yang kemudian bermunculan. Mengutip bahan kuliah Komunikasi Massa yang diberikan oleh Gun Heryanto, Pamella J. Shoemaker dan Stephen D. Reese tentnag Hirarki pengaruh media massa dalam menentukan isi berita. Mereka merumuskan isi media dibentuk oleh sejumlah faktor yang menghasilkan beragam versi berbeda mengenai realitas. Faktor-faktor yang berpengaruh: orientasi personal dari para pekerja media, professionalisme, kebijakan perusahaan, pola kepemilikan perusahaan, lingkungan ekonomi, pengiklan, dan pengaruh-pengaruh ideology. Yang lebih dominan pada saaat ini adalah kebijakan perusahaan yang diberikan oleh sang pemilik media. Tidak heran untuk memuluskan kepentingan mereka dalam bidang politik, media saat ini lebih cenderung menjual fitnah terhadap lain pihak sambil menyembunyikan borok diri sendiri.
Inilah posisi media massa yang semakin sulit untuk mencapai apa yang kita cita-citakan di atas. Agar media massa mampu menjadi palang pintu utama untuk mendekatkan khalayak agar lebih berpartisipasi pada kegiatan politik. Namun rupanya, penguasa, pengusaha dan pemilik media telah menjadi satu kekuatan dalam satu tangan yang sama membuat media massa kini menjadi sebuah bom waktu. Berita tentang korupsi dan cenderung fitnah belaka tidak diseimbangkan dengan menyediakan informasi yang bisa dipercaya terkait pembuat kebijakan. Khalayak kini hanya mengenal para koruptor. Masyarakat kini hanya dikenalkan dengan pertarungan politik yang semakin kotor. Kini masyarakat semakin akrab akan serangan-serangan satu media yang dimiliki oleh satu pimpinan partai tertentu menyerang tokoh politik lain.
Televisi yang sangat dekat dengan seluruh lapisan masyarakat kini menjadi ancaman terbesar dalam partisipasi politik karena semua hal tersebut.
Kini nyanyian Indonesia Raya semakin redup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar