Senin, 09 Desember 2013

Hiduplah Indonesia Raya

Udara panas kali ini menyelimuti sebagian kota Jakarta. Cucuran keringat begitu deras pada setiap orang yang berada di luar ruangan. Suara bising kendaraan dan polusinya menambah penderitaan baginya. Sementara angin tak kunjung menghembuskan udara segarnya. Tersapu bersih dengan debu. Entah kenapa bisa. Biasanya debulah yang tersapu bersih oleh angin. Namun itulah Jakarta, semuanya serba bisa.

Alat-alat berat itu berjejer dengan rapi. Berada dalam masing-masing barisan dalam tugasnya. Lalu lalang lelaki berpakaian safety lalu lalang sekitarnya. Mandor dengan serius mengamati pekerjaan mereka. Fokus menjalankan target pembangunan gedung pencakar langit ini. Calon gedung tersebut akan segera berdampingan dengan gedung-gedung lain yang telah kokoh terbangun di Ibu Kota.

Antrian panjang warteg sekitar proyek penuh sesak. Asap rokok mengepul dengan lebat. Kipas angin tak mampu meringankan suhu panas tubuh mereka. Si Mbok dengan sigap melayani para kuli bangunan tersebut. “Orek sama dadar ditambah sambel Mbok, minumnya es teh manis.” Tukas seorang kuli tersebut, memesan santapan siangnya. Yang lain berteriak setengah mengeluh, “Mbok mana minum ku, kok belum juga sampai. Haus nih.” Si Mbok sambil melayani yang lain segera meneriakkan anaknya yang di dapur, “Nduk mana minumnya, lebih cepat lagi ya.”

“Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar yang semalam tertangkap tangan KPK, hari ini kembali menjalani pemeriksaan. Setelah menjalani pemeriksaan, Akil Muchtar bersama pengacaranya keluar ruangan KPK dengan wajah murung. Beliau tak memberikan komentar apapun mendengar pertanyaan wartawan yang berderat, begitupun dengan pengacaranya.” Berita tersebut menemani para kuli tersebut. Mendengar hal seperti itu, mereka menganggapnya sebagai hal wajar.

“Ah kok masih saja menyetel berita Si Mbok. Ini mah sampah semua isinya.” Dengan sinis salah satu kuli mencemooh berita tersebut.
“Mau korupsi miliyaran pun gak ngaruh sama kita.” Timpal yang lain.
“Udah biasa hidup susah dan makan apa adanya. Katanya Negara kita miskin tapi rakyatnya kuat semua menghadapinya.”
“Pejabat ngehe. Korupsi di gedein, isteri di banyakin. Janji dilupain. Asu tenan mereka.”
“Pemilu nanti kita Golput saja. Jangan ada yang milih. Demokrasi gak ngaruh buat kehidupan kita semua.”
“Betuuuullll.” Teriak semua kuli dalam Warteg tersebut. Muak mereka dengan para pejabat. Sudah jam satu tepat. Mereka segera kembali bekerja. Bergelut dengan waktu.

Jakarta masih saja panas. Namun penyejuk AC mampu membuat beban tersebut berkurang. Ruangannya memang tak terlalu mewah. Dan macam-macam makanannya pun tak begitu selangit harganya. Jejeran meja tersusun rapih. Banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu makan siangnya di sini. Kampusnya memang sengaja membangun sebuah kantin agar mahasiswa tidak keluar area kampus apabila ingin istirahat. Lebih efisien. Seperti itulah alasan pihak kampus apabila mereka ditanyakan “mengapa lebih memilih membangun kantin, ketimbang menambah koleksi buku-buku baru di Perpustakaan?”
Tak berbeda dengan Warteg, dalam kantin tersebutpun di pasang televisi. Namun lebih besar ukurannya. Dan tempatnya pun lebih nyaman.

“Menteri ESDM Jero Wacik akan segera di panggil KPK sebagai saksi atas kasus suap yang melibatkan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Begitulah penjelasan Abraham Samad ketika ditanya Wartawan ketika menghadiri sebuah seminar korupsi di salah satu kampus di Jawa Tengah.” Begitu suara yang keluar dari tayangan televisi yang menggantung di tengan ruangan. Semuanya acuh. Kasian tv tersebut.

“Gimana bro, kapan kita futsal lagi?” Ucap salah satu mahasiswa di sela-sela dirinya menyuap santapan makan siangnya. Yang lain membalas, “Jangan futsal mulu lah. Kita kemana gitu. Akhir pekan ini kan libur panjang. Bagaimana kita pergi ke Puncak. Menghilangkan penat kuliah.” Lalu serentak dalam meja tersebut menyetujuinya.

Keadaan negeri tidak digubris sama sekali oleh para mahasiswa yang ada di dalam ke kantin tersebut. Berita korupsi yang melibatkan sekaliber Menteri tidak dihiraukan dengan mudah oleh mereka. Mahasiswa yang menjadi perpanjangan rakyat sebagi pembela kepentingannya sudah mulai tergerus dengan jaman. Mungkin masih ada juga yang peduli akan perkembangan negeri dan bertekad memperbaikinya. Patut di sukuri. Dan mencari hiburan pun tak ada masalahnya. Yang menjadi masalah seberapa besar kebutuhan tersebut. Apakah itu menjadi obat atau malah menjadi racun bagi dirinya dan masa depan bangsanya.

Seragamnya basah dengan keringat. Ibunya baru saja selesai menyiapkan makan siang. Walau dengan lauk yang sederhana. Tempe goreng dan tumis kangkung. Sedagkan adiknya masih tertidur pulas setelah sejam yang lalu menghisap asi dari sang ibu.

“Bapak belum pulang Bu?” Anaknya bertanya. Sebelum sang Ibu menjawab, terdengarlah suara salam dari luar rumah. Tanda Bapaknya telah sampai rumah. Sang Ibu lalu dengan sigap menyiapkan makan siang di ruang tamu, kecil dan sederhana. Panas menembus dari atap rumahnya. Dan jikalau hujan, airpun ikut menembusnya.
Beberapa saat kemuadian semuanya telah siap makan. Bapaknya telah selelsai membersihkan tubuhnya. Dan tugas Sang Ibu menyiapkan makanan telah selesai. Dengan ucapan sukur dari kepala keluarga tersebut. Lalu mereka satu persatu mulai menyendok makan siang mereka.

“Hari ini sebagian besar Dokter melakukan aksi solidaritas yang menimpa rekan mereka dokter Ayu. Mereka menolak kriminalisasi dokter, seperti yang menimpa dokter Ayu. Dalam waktu bersamaan banyak pasien yang terlantar. Bahkan dilaporkan dari Kota Bogor ada pasien DBD meninggal karena terabaikan oleh aksi solidaritas tersebut. Banyak yang menyesali aksi tersebut. Termasuk para elit politik.” Dalam keheningan santapan makan siang keluarga tersebut, berita dari Radio yang menyala terdengar oleh mereka. Tak ada televisi memang. Mereka keluarga sederhana namun memiliki anak yang cerdas dan kemauan yang kuat untuk belajar. Tak heran selalu menjadi juara terbaik di kelasnya. Namun, anak mereka entah kenapa menangis saat mendengar berita tersebut.

“Aku akan menjadi dokter. Dan tak akan mengabaikan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, baik si miskin seperti kita maupun para orang kaya yang sombong itu.” Air matanya tak kunjung reda. Karena banyak dari korban aksi solidaritas tersebut yang berasal dari kaum miskin. Mereka harus menahan sakit karena ke egoan dokter.

Setelah emosinya tertahan dan air matanya tak lagi jatuh anak tersebut menghadap tembok yang dibelakangi sebelumnya. Di sana tergantung foto Bung Karno. Dan dalam hatinya berkata. “Perjuangan belum berakhir. Rakyat miskin masih menderita, kenapa anda telah meninggalkan kami semua. Dan ada saatnya bagi aku nanti menjadi seperti anda. Pembela kaum miskin.” Setelahnya diakhiri dengan kalimat “Hiduplah Indonesia Raya.”

Berbagai belahan dan lapisan. Entahlah, semoga Indonesia Raya tak pernah tertunduk dan redup saat dikumandangkan rakyatnya nanti. Karena masih ada mimpi bagi orang yang memiliki ketulusan, kemauan dan ulet untuk memperjuangkan Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae