Selasa, 17 Desember 2013

Langit Harapan Jakarta

Asap rokoknya mengepul begitu pekat. Dihembuskannya dengan penuh gairah. Seakan menegaskan dirinya sebagai perokok yang berpengalaman. Yang sudah kebal dari segala efek negative yang akan menimpa dirinya dari rokok-rokok yang ia bakar setiap harinya.

Di sekitarnya lalu lalang kendaraan berlewatan tanpa pamrih. Berisik. Kotor. Bau. Dan sebagainya lagi. Mereka saling menyalip tanpa peduli keselamatan. Mereka saling mencerca ketika hendak bersenggolan. Tak ada senyum di jalanan. Yang ada predator. Yang akan memangsa mereka yang lemah.

Usianya kira-kira 40 tahunan. Di atas trotoar dia berhenti sejenaka. Sekedar untuk mengepulkan asap rokok. Bukan untuk minum atau makan siang. Inilah sebagian hidup rakyat kecil di Ibukota. Rokok menjadi pengganti ketika lapar dan haus tiba.

“Apa kau lihat-lihat! Aku bukan pengemis. Jangan kau taruh pamrih pada diriku. Ambil kembali ini uangmu.” Keras suaranya, mengarah kepada seorang Ibu yang memang agak sinis kepadanya namun masih memberikan belas peduli. Memberikannya uang sambil dijatuhkan dihadapannya.

Dia marah sekali ketika dirinya dianggap pengemis. Mungkin baginya pengemis adalah pekerjaan nista. Yang haram dilakukan. Bukan karena ia mengertia agama yang dalam. Namun karena ia paham arti kehidupan ini dari jalanan. Lebih baik lapar ketimbang mengemis. Atau bahkan lebih baik mencuri. Mungkin. Mungkin saja ada dalam dirinya.

Lalu ia melihat kanan kiri. Sekitarnya penuh dengan pedagang kaki lima. Menawarkan barang dagangannya. Boneka, kemeja, celana, dan macam-macam pakaian lainnya. Tentu semuanya adalah barang bekas atau barang yang sudah tak laku dipasaran.

Di lampu merah banyak anak-anak sedang berlarian. Keluar masuk bus kota atau angkutan umum. Mereka menjajakan suaranya. Tentu saja suara yang parau yang tak enak di dengar. Suara penuh harapan untuk meminta kasih. Untuk sesuap nasi. Terkadang diawali dengan ucapan yang memelas. Atau bahkan dengan “Daripada tangan kami yang panjang, lebih baik suara kami yang panjang. Untuk memperpanjang kehidupan kami.”

Pedagang asongan tak mau kalah. Ia sibuk menawarkan dagangannya dari satu mobil ke mobil yang lain. “Aqua, aqua, aqua,” padahal tak ada satupun merk Aqua dalam dagangannya. Nampaknya Aqua sudah menjadi pandangan mereka ketika menjual minuman mineral yang sekalipun merknya bukan Aqua sendiri.

Suara klakson mulai berbunyi. Saling bersahut-sahutan. Menandakan lampu hijau akan segera menyala. Para pengamen, anak jalanan dan pedagang berlarian ke pinggir jalan. Kini saatnya mereka mempersilakan harapan-harapan mereka pergi. Sembari bersiap-siap menanti rejeki kedatangan rejeki titipan dari Tuhan yang ada pada pengendara selanjutnya, yang terjebak lampu merah.

Bapak separuh tua tadi rupanya sudah tak di tempat semulanya. Rokoknya sudah habis. Puntungnya ia masukan ke dalam bungkus rokoknya. Entah apa maksudnya.

“Jangan kau gunakan jalan juga untuk berjualan. Rakus sekali kamu! Bereskan lapakmu. Cukup trotoar saja yang kita gunakan untuk menyambung hidup. Cukup kejujuran saja yang menemani kemiskinan kita. Jangan kau tambah dengan kerakusan. Mengerti tidak.” Keras suaranya membentak pedagang yang lapaknya memasuki badan jalan. Pedagang tersebut hanya diam menunduk sambil menuruti perintah orang tua tersebut. Penuh kharisma sekali.

Barulah anak-anak sadar akan kehadirannya. Mereka menyalaminya satu persatu. Lalu berangkat menuju kesepian. Ke sebuah tempat. Anak-anak tampak riang dalam perjalanan. Bergantian bergandengan tangan dengan bapak tersebut. Ada rasa aman dan nyaman yang dirasakan mereka. Setelah seharian mengadu nasib di jalanan.

Rumah singgah itu kecil. Seperti kontrakan. Berada dalam sebuah perkampungan namun lokasinya menyendiri. Jauh dari sekitar rumah para tetangga. Mereka masukkan rejeki mereka dalam satu kotak lumayan besar. Lalu bergantian membersihkan badan. Duduk manis di ruangan tengah tanpa di instruksikan. Makanan dibagikan dengan tertib. Lalu mereka tampil satu persatu. Menyampaikan diri mereka. Entah lewat tulisan, nyanyian, atau puisi. Sebuah kewajiban. Sebelum nisan menggantikan insan mereka.

Bapak itu membimbing mereka. Memberikan ajaran yang tepat. Tentang agama maupun ajaran formal. Mengenalkan baca tulis. Tanpa pamrih. Memimpin mereka untuk mengumpulkan uang bersama. Untuk digunakan sewaktu-waktu apabila nanti ada musibah yang menimpa. Anak-anak tersebut kini menemukan orang tua baru mereka. Orang tua yang hadir di saat dunia hampir saja punah dari kebahagiaan.

Tangan Tuhan telah sampai kepada mereka. Bahagia itu kini nyata meski sederhana. Dalam kebersamaan orang senasib. Penuh kasih. Penuh senyum.

Semakin malam semakin ramai rumah singgah tersebut. Banyak juga pedagang asongan yang ikut hadir di sana. Mereka tidak hanya meneduh kan tubuh, tapi juga meneduhkan jiwa dari kerasnya kehidupan jalanan. Nasihat-nasihat dari bapak tersebut mampu membuat mereka bertahan. Satu pesan yang paling mujarab adalah “biarlah kejujuran menemani kemiskinan kita.” Sederhana namun penuh makna.

Kerasnya Jakarta mampu di lunakkan dengan pikiran dan pengorbanan seorang bapak setengah tua tersebut. Mereka yang bertarung di jalan kini memiliki pelabuhan baru untuk meneduhkan jiwa. Bukan dari seorang berpendidikan tinggi. Bukan dari seorang beramalan agama yang melimpah. Bukan juga dari seorang yang tubuhnya dipenuhi symbol agama. Tapi dari seorang yang peduli dan mau berbagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae