Selasa, 21 Januari 2014

Bangku Taman Taman Mimpi

“Seharusnya tak ada kemuraman malam ini. Tak ada jalan yang perlu disesali. Tak ada juga waktu yang harus diulang. Renungan malam ini seharusnya tak berujung pada kepedihan. Hati yang teriris. Yang seharusnya terjaga rapi. Atau malam yang seharusnya purnama terang namun ditutupi awan gelap. Aku tak menduga ini. Dan tak mau merasakan ini.” Hujan rintik menemani mereka dalam taman mimpi.

Kepedihan kian menjalar ke alam sekitar. Cuaca mendung kian tak terbendung. Gemercik gerimis turun dari langit yang tak seharusnya menetaskan air. Membuat ratapan kian menyakitkan. Malam sendiri. Sepi. Dan sedikit tak berarti.
Akhir dari perjalanan panjang ini. Belajar banyak dari waktu yang terlewati bersama. Masih sangat teringat dalam diri. Kamu ya kamu, yang masih ingin ku peluk kehangatan tubuhmu, kini telah pergi. Tak lagi ada cerita yang akan kita lewati bersama. Perih dan pedih.

“Seharusnya tak kusampaikan ini. Tak kurasakan ini sebagai sakit. Seharusnya bahagialah kita malam ini dan malam-malam selanjutnya. Lebih banyak kenangan yang akan kita buat. Lebih banyak tawa yang kita perdengarkan kepada orang lain. Lebih banyak lagi-lagi dan lagi yang orang lain perlu ketahui dari cerita cinta kita.” Perempuan itu semakin menyatu dengan alam. Mendengar ucapan kekasihnya tersebut, air matanya turun bersamaan dengan gerimis sore.
“Alam seakan bergetar saat kita tapaki. Angin serasa tak berhembus saat kita berdekapan. Tanah dan air tak lagi bernyali untuk saling mencinta ketika bersamaan. Wangimu, senyummu, semangatmu, ketakutanmu, dan pedihmu. Aku masih teringat itu.” Balas perempuan tersebut. Ia tak mau diam seribu bahasa ketika kekasihnya berpurus asa.

“Ajal memang tak ada yang mengetahui. Tak ada yang bisa menghindari. Tak ada yang mampu melawannya. Namun kenapa ajal begitu cepat mendatangi? Apa ajal tak punya cinta? Apa aja tak punya kekasih? Apa ajal selalu kejam?” Kesal sang lelaki menghadapi mimpi yang telah terjadi dalam tidurnya. Ia hirup kopi hitam yang ada di sampingnya. “Bahagia memang tak selalu bersama. Sedih memang tak selalu harus dibagi. Cinta memang tak perlu pada satu orang saja. Cinta bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Namun kamu hanya satu di dunia ini.”

“Kita tak perlu bersama. Kita tak perlu berpisah. Kita tak perlu menjadi kita.” Perempuannya semakin meracau.

“Sore ini kubegitu pedih. Air mata masih tersisa dalam mataku. Sepi masih membuatku beku. Seperti belum beranjak dalam mimpi. Mimpi kau telah pergi selamanya. Mimpi yang kusaksikan kekasihku dibaringkan dengan damai dalam liang lahat. Mimpi yang membuat mu pergi selamanya. Dan mimpi yang membuat ku takut seumur hidupku.” Lelaki itu semakin dalam mengungkapkan kegelisahannya. Alam kian bernyanyi. Angin kian berpuisi. Hujan kian penuh arti.

Perempuan mendekati wajah kekasihnya. Ia kecup manis bibir lelakinya tersebut. “Jemarimu yang masih kugenggam. Senyummu yang masih ku simpan. Bibir tipismu yang masih bisa ku kecup. Tawamu yang manja. Sedihmu yang dewasa. Aku begitu mencintai kamu yang tak pernah menjadi aku. Dan kamu yang mencitai aku yang tak pernah menuntut menjadi kita. Kita hanya untuk memudahkan penyebutan cinta aku dan kamu. Aku dan kamu yang tak pernah kehilangan sifatnya atau dipaksa menjadi ke akuan.”

Kini berbalik keadaanya, lelaki muda tersebut mencium kening gadis mungilnya, “Kini di sore hari kau telah memastikan dirimu masih terjaga. Masih mencinta ku seperti sedia kala. Kita akan menikmati pagi sampai sore bersama. Tak ada orang lain. Aku ingin mendekapmu selama mungkin. Kehilanganmu di dalam mimpi membuat ku takut.”

“Aku begitu mencintaimu, saat ini dan sampai kapanpun.” Perempuan tersebut memberikan keyakinan kepada kekasihnya tersebut.

“Salam hormat, karena aku memang menghormati kau sebagai wanita yang ku cinta.” Balas kekasihnya.

Mimpi tentang kematian seorang kekasih memang terasa pahit. Banyak mitos mengatakan kita akan berpisah kasih. Berpisah. Bumi tak merestui hubungan kita. Kita akan menjadi saling menyedihkan diri. Menangisi kepergian kita. Kita yang harus terpisah karena bumi tak sanggup menahan cemburunya. Bumi yang iri akan mesranya kita. Namun, kutahu pasti. Kita akan bersama selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae