Karin sedang berdiam diri di dekat taman perpustakaan. Suasana saat itu begitu bersahabat. Awannya cerah. Ada sedikit angin. Sesekali menyibakkan rambut Karin yang panjangnya sebahu. Matanya terlindungi oleh kacamaata yang ia kenakan. Karin menunduk. Menikmati hari yang begitu tenang.
Sesekali Karin melongok telepon genggamnya. Berharap datang sebuah pesan dari orang yang ia nanti-nantikan. Kadang ia juga membuka-buka buku catatan yang ada di dalam tasnya. Mengulangi pelajaran yang belum lama ia terima. Kini ia merasa telah terlalu jauh kehilangan waktu. Karin merasa dirinya telah mengkhianati ke dua orang tuanya. Ia abai akan kewajibannya sebagai mahasisiwi. Aktifitasnya habis semua di luar memperdalam ilmu penjurusannya.
“Sudah lama kamu di sini? Aku tadi melihatmu dari kejauhan. Lalu kuputuskan untuk menyapamu.” Kalimat tersebut mengagetkan Karin yang sedang melayang jauh ke angkasa atas apa yang ia pikirkan saat itu. “Karin, kamu masih memikirkan hal yang kemarin terjadi. Kamu masih tak sanggup menerima kenyataan pahit yang terjadi. Memang terkadang apa yang kita inginkan jauh berbeda dengan kenyataan. Tapi jangan sampai kamu terus berdiam diri. Apa lagi di tengah keramaian seperti ini.” Kalimat panjang tersebut membuat Karin semakin jauh terbang bersama pikirannya. Ia masih terdiam. Tidak mengucap kalimat sedikit pun.
Matahari sudah agak sedikit tenggelam meninggalkan bumi. Cahaya keemasan tampak dari sela-sela dedaunan. Pohon-pohon yang dibiarkan membesar di taman tersebut membuat suasana semakin sejuk. Cahaya mentari kadang tak tembus melewati pertahanan yang semakin kokoh tersebut. Manusia yang berkumpul di bawahnya semakin nyaman untuk menghabiskan hari di sana. Semua hanyut dalam perbincangan masing-masing.
“Kamu tak juga berbicara Karin. Kamu terus sibuk membuka lembaran-lembaran catatan tersebut. Sedangkan aku di sini hanya terdiam melihat tingkahmu yang kian muram tersebut.” Tiba-tiba Karin meneteskan air mata. Dirinya tenggelam dalam kesedihan setelah tak mampu lagi membendung beban perasaan yang kini ia rasakan.
“Aku telah dibohongi. Aku lelah menerima itu semua.” Tiba-tiba Karin berucap dan langsung disambut dengan sebuah pelukan yang diberikan oleh sahabatnya yang sedari tadi menunggu kalimat yang akan keluar dari mulutnya tersebut.
“Semuanya telah terjadi, dan kamu menyaksikannya secara langsung. Aku tidak berani memberikan saran kepadamu.”
Sahabatnya tak mau mencampuri kehidupan Karin terlalu dalam. Baginya, mendampingi Karin dalam sebuah kesulitan ialah hal yang sudah selayaknya ia lakukan. Namun, jika ia sampai memberikan saran atau bujukan untuk Karin dalam mengambil sebuah keputusan pribadi ia tak berani. Baginya itu sudah terlalu jauh dalam arti sebuah persahabatan.
“Terimakasih kamu selalu ada untukku. Selalu menemani masa-masa sulitku.” Ucap Karin. Dan pelukan mereka semakin erat. Air mata Karin semakin deras bercucuran. Sahabatnya ikut menangis melihat Karin seperti itu.
“Tak ada yang tahu akan garis kehidupan di depan nanti. Kita harus siap menerima semuanya.” Mereka berdua melepas pelukannya. Karin menghapus air matanya. Ia tabah menerima semua ini. Dan menerima dengan baik ucapan dari sahabatnya tersebut.
“Aku harus melupakannya. Meski selama ini aku telah dibohonginya, kini aku berharap, dapat kembali fokus kuliah. Aku telah lama kehilangan waktu berharga dan menggantinya dengan keralaan ku untuk terus dibohongi oleh pria yang sangat brengsek itu. Aku ingin mengubah kesalahan ku dengan memperbaiki kualitas diriku dalam kelas. Aku ingin selalu berbicara seperti mu. Berdebat dengan lelaki akan hal pengetahuan. Bukan cuma seorang gadis yang hanya bisanya duduk manis dalam kelas dan hanya memikirkan perihal cinta semata.” Ujar Karin kepada sahabatnya.
Sahabatnya memberikan sebuah pelukan kembali kepada Karin. Mereka berdua memang sudah sangat dekat sejak awal kuliah. Namun belakangan Karin mengabaikan sahabatnya tersebut. Karena termakan oleh buaian lelaki pemalas yang bisanya hanya mengandalkan kejayaan orang tuanya dan mengedepankan materi dalam kehidupan. “Aku akan selalu ada disampingmu Karin. Kita akan berjalan berdua. Memperbaiki kualitas hidup masing-masing, terutama dalam bidang pengetahuan.” Bisik sahabatnya di telinga Karin. Bergetar hatinya mendengar hal tersebut. Ternyata ia tak akan sendiri dalam menempuh sebuah perubahan dalam dirinya. Ada sahabat yang akan selalu mendampinginya. Meski belakangan ia sadar, telah begitu lama ia melupakannya.
“Kupikir aku akan sendiri menghadapi ini.” Sahabatnya cepat memotong, “perempuan akan terus tetap sama, meski telah “diraut” berkali-kali. Ia akan menjaga janjinya, yang berujung pada kebaikan.”
Itulah perempuan, mereka akan selalu menjaga sebuah janji yang tertuju pada sebuah kebaikan. Meski ia telah dikhianati, ia akan memaafkan. Dan kembali pada sebuah jalur janji kesetiaannya. Ia akan selalu memaafkan lawan jenisnya namun tak mau mengulangi kembali kesalahannya yang telah lalu. Dan ia akan kembali mengasihi sesama jenisnya, meski telah lama terlewatkan. Perempuan akan selalu menjaga persahabatannya kepada siapapun. Pikir Karin dalam benaknya. Perbincangan mereka berakhir seraya alunan adzan berkumandang. “Hayya a’lal falaaaahhhhh” jelas kumandang adzan tersebut di telingan mereka berdua. “Marilah kita menuju kemenangan” ucap sahabat Karin kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar