Kini menjelang Pemilu 2014 banyak sekali aktor-aktor politik bermunculan di hadapan masyarakat. Berbagai cara mereka lakukan untuk memperkenalkan diri mereka terhadap publik, sambil berharap apa yang mereka lakukan dapat mengubah perilaku politik dikalangan khalayak. Tidak sedikit pula dari mereka yang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk memasang iklan di televisi. Mereka rela melakukan hal itu demi meraih popularitas.
Hal ini diamini oleh media sendiri, diantara kebutuhan untuk menghidupi media massa yang begitu besar dan merekapun berlomba mencari pengiklan demi meraih keuntungan, media massa rela menghilangkan netralitas media di bidang politik. Media massa pada umumnya pun berani mendapatkan teguran dari pihak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena pada nyatanya kerap kali mereka mampu mengelak dari tuduhan yang diajukan. Bagi mereka (media massa) dengan mengiklankan elit politik dalam stasiun tv nya itu bukan dianggap sebagai sebuah kampanye politik. Dan sebaliknya, pihak media massa malah menuntut anggaran kampanye elit maupun partai politik dibatasi. Itu yang sering kali terjadi.
Dilain pihak para aktor politik yang “nekat” beriklan melalui media massa selalu meremehkan peraturan yang dibuat oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Bagi aktor politik yang memiliki anggaran besar tidak takut akan sanksi yang akan dijatuhkan kepadanya.
Pada jaman sekarang ini media massa baik cetak maupun elektronik mudah dimiliki oleh siapa saja dan demi kepentingan apa saja. Yang sudah menjadi barang umum ialah media massa pada jaman sekarang ini berada dalam dua sisi yang berlainan, yakni melayani kepentingan umum atau mementingkan mencari keuntungan semata. Dan dalam kenyataannya saat ini adalah media massa telah terkooptasi ke dalam kepentingan politik. informasi-informasi yang ditampilkan dalam media massa saat ini cenderung tidak berimbang.
Media di Indonesia bisa dikatakan sebagai media paling bebas di seluruh dunia. Sangat jarang sekali pers yang mampu tampil kritis dalam menyikapi isu-isu pemerintahan. Bahkan keadaan seperti ini cenderung ke bablasan, media terlebih dahulu menghakimi elit politik yang diduga terlibat dalam kasus korupsi atau kasus kemanusiaan lainnya, walaupun hal tersebut belum terbukti kebenarannya. Hal ini terjadi lantaran bukan pekerja medianya yang berani, namun tak lain adalah kepentingan dari pemilik media yang juga berkepentingan di ranah politik.
Kini pergerakan media telah bergeser, dari yang awalnya hanya melaporkan kejadian politik kini media massa menjadi aktor politik yang aktif mengubah perilaku politik khalayak. Hal ini terjadi tidak bukan karena adanya kepentingan politik yang dimiliki oleh pemilik media.
Menurut Veven SP. Wardhana dalam “Budaya Massa, Agama, Wanita” ia mengatakan jika penguasa menguasai media, bahkan penguasa adalah pemilik media itu sendiri, hanya pembenaran belaka yang kemudian bermunculan. Tidak heran untuk memuluskan kepentingan mereka dalam bidang politik, pemilik media saat ini melalui medianya lebih cenderung menjual fitnah terhadap lain pihak sambil menyembunyikan borok diri sendiri.
Seharusnya hal di atas mampu ditindak oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), merujuk pada kolom opini majalah Tempo edisi 20-26 Januari 2014, Pasal 36 butir 4 Undang-Undang penyiaran, yang mengatur kewajiban menjaga netralitas isi siaran terhadap semua golongan. Selain itu, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002, yang dikenal sebagai undang-undang penyiaran, mengatur media siaran seperti televisi dan radio haruslah sebesar-besarnya untuk kepentingan umum bukan kepentingan golongan dan pribadi.
Sejauh ini kita mampu melihat kinerja KPI yang kian ompong. Pelanggaran-pelangaran yang terjadi yang dilakukan oleh media massa dan pemiliknya selama ini didiamkan saja. Bahkan dalam sebuah stasiun televisi tertentu setiap harinya mampu mengiklankan salah satu calon presiden yang juga memiliki stasiun tv tersebut. Tv One, MNC Grup, Metro Tv kerap kali mengiklankan pemiliknya yang juga memiliki kepentingan politik.
Seharusnya memang peran media massa dalam menyampaikan informasi politik sangat penting. Karena hal ini akan memberikan informasi yang menarik bagi publik. Selain itu juga mampu meningkatkan gairah aktifitas.
Seperti mengutip dari pendapat Guverith dan Blummer merujuk pada makalah Siti Aminah yang berjudul “Media dalam Demokrasi Postmodern” dalam Jurnal Politika Vol No. 1 Tahun 2013 yakni informasi politik yang berlimpah dan dapat diandalkan akan memudahkan warga Negara untuk membuat pilihan politiknya. Prinsip utama berjalannya komunikasi antara pemerintah dan yang diperintah adalah potensi yang dimiliki oleh media untuk memperbaiki kualitas demokrasi perwakilan dan menyediakan sejumlah fungsi pelayanan dalam sistem politik termasuk penguasaan lingkungan social politik, agenda setting, dialog lintas sektor sehingga rakyat bisa belajar, memilih dan pada akhirnya menjadi terlibat.
Realitas saat ini adalah sebuah kebalikan dari apa yang dicitakan oleh Guverith dan Blummer. Media massa saat ini menampilkan sebuah informasi politik yang justru sangat berlebihan dan malah menjurus membuat masyarakat jenuh akan aktifitas-aktifitas politik yang terjadi. Ini terjadi karena media massa kini telah menjadi ajang rebutan bagi para pemiliknya yang juga memiliki kepentingan politik.
Menurut Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Heryanto, kepemilikan media menjadi hal yang sangat dilematis dalam dinamika industri media. Dalam hal ini, siapapun yang memiliki modal besar dan mempunyai kepentingan akan berusaha menguasai media. Karena era perpolitikan Indonesia saat ini telah memasuki fase politik pencitraan.
Semoga semakin kedepannya, kita berharap KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mampu berjibaku untuk memberikan sanksi-sanksi tegas terhadap stasiun-stasiun tv dan media massa lainnya yang kerap kali melanggar aturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar