Awan mendung memang belakangan selalu hadir di atas kampung ini. Siang berganti sore, sore berganti malam, malam berganti pagi, pagi berganti siang kembali. Awan mendung menyelimuti ini hampir dua hari belakangan. Orang-orang pun mungkin tak akan keluar jika hari ini adalah hari libur. Mereka bakal lebih senang kumpul dirumah bersama keluarganya. Membagi cerita, membagi kenangan, membagi harapan di masa depan nanti. Namun hari ini adalah hari senin, hari dimulainya perjuangan manusia untuk bertarung dengan dunia agar menjadi pemenang di hari kelak nanti. Hari dimulainya harapan untuk kehidupan esok hari. Banyak yang menentukan kesuksesan esok hari apabila di hari senin ini kita semangat dalam beraktifitas.
Namun di hari senin ini ada getar begitu kencang di dalam jantung bapak tua ini. Dia akan pergi kerumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan kesehatannya. Sakit yang selama ini dia tahan tak sanggup lagi dia rasakan sendiri. Sakitnya sudah begitu luar biasa. Dan mungkin untuk sakit yang ini dia ingin sedikit berbagi dengan anak-anaknya. Berbagi sakit yang sangat di sekujur tubuhnya. Akibat dari sakit kecil yang sebelumnya dia tanggung sendiri. Kini akibatnya sangat sakit. Sakit sekali.
Pergi bersama isteri dan anaknya, bapak ini berjalan dengan perih, lebih banyak istirahatnya daripada jalannya. Isteri dan anaknya sangat tegar memenamaninya. Tak ada keluh untuk menunggu. Tak ada habis kata semangat. Kedua hal inilah yang membuat lelaki tua ini melanhkah dibalik sangat sakit tubuhnya. Tak ada harapan besar dalam dirinya, yang ada hanyalah sehat kembali dan meneruskan perjuangan seorang ayah untuk anak-anaknya. Sederhana namun begitu berarti.
Menghadap sang dokter pun semangat untuk sembuhnya sungguh luar biasa. Dia ceritakan semua yang dia rasakan.
Dokternya pun hanya tersenyum saja. Karena ada getir yang akan sangat dirasa oleh bapak dan juga anak isterinya. Hari ini adalah hanya mengambil hasil pemeriksaan sebelumnya. Dan hasilnya mampu membuat awan ikut mendung disekitar rumah lelaki tua itu. Penyempitan tulang belakang, dan bergeser pula, jenis penyakit dalam dunia kedokteran yang tidak dimengerti ketiga orang ini. Akibatnya akan sangat buruk jika tidak segera ditangani dalam jangka waktu dua minggu. Lumpuh secara perlahan. Tak ada lagi semangat dan senyum dari ketiga orang ini. Takut yang luar biasa. Dunia runtuh. Air laut memuntahkan isi-isinya ke daratan. Gunung-gunung meletus. Air mata tak terbendung. Kiamat kecil sekejap terjadi. Duka bagi mereka bertiga diruangan itu.
Tak banyak harapan, biaya penanganan yang tak sanggup dibayarkan. Menunggu kebesaran Tuhan yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki tua ini.
*
Sesampainya di rumah, keluarga mereka terasa tak ada lagi harapan yang cerah. Vonis yang diterima lelaki yang paling dicintai dalam keluarga itu sangat menyakitkan. Apabila dua minggu tak mendapatkan penanganan yang terbaik, maka akan segera lumpuh perlahan. Namun, berbeda dengan yang dirasa oleh anak-anaknya, lelaki tua itu tetap menunjukkan dirinya sebagai kepala keluarga. Dia hanya menyimpan rasa takut itu sebentar saja. Kini setelah sesampainya di rumah, bapak itu malah pergi kembali ke pekerjaan yang telah lama ia tekuni sebagai tukang kebun dan pemelihara burung di rumah tuannya. Pekerjaan ini telah dilakukan bapak itu belasan tahun. Namun jangan kira ketekunannya tidak berpengaruh terhadap kehidupan keluarganya. Dia mampu menyekolahkan tiga anaknya sampai bangku perkuliahan. Kegigihannya dalam bekerja sangat istimewa. Dalam batinnya cukuplah sudah kesusahan hidupnya sampai pada dirinya saja. Namun anak-anaknya harus mencapai pendidikan sebaik mungkin agar tidak ikut merasakan kepiluan yang telah lama dialaminya.
Setiap hari bapak itu bekerja sedari pagi sampai sore. Dia selalu ada rumah tuannya untuk tetap memenuhi apa yang dibutuhkan tuannya terkait masalah halaman rumah, bangunan yang rusak, atau bahkan hanya untuk member makan burung atau ikan-ikan peliharaannya. Memang lelaki tua itu sangat terampil dalam bekerja, dalam hal kerja yang keras bapak ini cukup dihandalkan. Apapun bisa ditekuninya, dan hasilnya pun tidak mengecewakan tuannya. Jadilah tuannya itu senang dan sangat percaya kepada bapak itu. Mungkin karena impiannya melihat anak-anaknya sukseslah yang membuat itu mudah dilakukan. Pekerjaan apapun asal halal sanggup dikerjakannya. Hidup memang sugguh butuh perjuangan. Tak ada yang instan, semua butuh proses dan bapak itu menunjukkan kegigihannya.
Kini setelah vonis itu diterima, jiwa dan semangatnya tidak luntur. Dia tetap gigih untuk bekerja meraih rezeki demi anak-anaknya atau lebih tepatnya untuk memenuhi waktu senggangnya. Anak-anaknya kini ada yang berhasil dengan ijazah S1 dan kini sedang kuliah S2, ada yang baru lulus S1, dan ada yang sedang menunggu jadwal sidang skripsi saja. Adapun sang ibu yang telah menemani lelaki tua itu puluhan tahun hanya menekuniki hidupnya di rumah saja. Keluarga kecil, sederhana, namun penuh kepastian untuk merajut mimpi di masa depan nanti.
*
Bukan waktu untuk pulang
Namun setelah satu minggu di vonis akan segera lumpuh walaupun dengan cara pelan-pelan bapak ini tak lelah untuk melawan vonis tersebut. Bahakn yang tak menjadi dugaan untuk anak-anaknya adalah melihat bapaknya terus bekerja sedia dulu kala. Tak pernah berhenti pergi ke masjid waktu maghrib, isya dan subuh. Tak pernah lelah menafkahi anak-anaknya, sungguh perlawanan yang sangat keras dalam melawan vonis dokter tersebut.
Kini lelaki tua itu ingin terus tersenyum untuk anak-anaknya, cucunya, dan orang-orang terdekat beliau. Seakan tak ada rasa sakit di dalam dirinya. Begitu semangat melawan segala gejala yang perlahan dia rasakan. Anak-anaknya hanya bisa terdiam dan berharap bapaknya bisa melawan sakit yang teramat.
Cuaca alam ini semakin kacau. Pagi, siang, sore malam, dini hari hampir selalu diguyur hujan. Jakarta belakangan ini seperti sawah, banjir dimana-mana. Makin banyak orang-orang merasakan stress dalam dirinya. Tak ada yang bisa melawan kehendak alam ini. Manusia yang sedikit sombong dalam dirinya bahwa dia akan bisa menaklukan alam kini hanya terdiam. Jakarta ibu kota yang penuh rasa sakit. Jakarta mencoba diseragamkan dengan bangunan-bangunan mencakar langit, perumahan-perumahan mewah, pusat perbelanjaan, kini menjadi lautan. Menyempitnya saluran air, tak adanya lagi lahan peresapan air menjadi problem terbesar pembangunan ibu kota kita ini. Seakan tak ada lagi yang peduli dengan alam, semua bagian alam Jakarta dibangun dengan gedung-gedung mewah. Tak seimbang.
“Aku bukan alam yang kini telah tenggelam, aku akan melewati ini semua sembari menanti mentari akan bersinar di kemudian hari.” Suara Bapak tersebut memecah lamunan di ruang tamu yang kecil tersebut. Sajiang Singkong rebus hadir menemani keluarga mereka. “Semuanya akan baik-baik saja, aku akan kembali bekerja, dan esok kita akan terus makan enak.” Lanjutnya sambil membelai kepala mungil cucunya yang duduk manja di atas pangkuannya.
Sambil menghidangkan minuman di tengah-tengah anak dan suaminya, perempuan yang sudah setengah tua seraya berkata sambil menguatkan sebuah pengharapan “Yang kita lakukan adalah usaha, hasilnya ada di Tangan Yang Kuasa. Jangan sampai kita semua berputus asa.”
Cucunya duduk manja sambil memainkan bulu-bulu yang tidak begitu panjang yang tumbuh di janggut kakeknya. Ia kadangkala mengelus pipi yang sudah mulai mengkerut tersebut.
“Aku ingin melihat dia menikah nanti” sambil menunjuk ke arah anak perempuannya yang terakhir. Anaknya kaget bukan kepalang. Dibenaknya kini ada sebuah beban yang begitu besar. Pernikahannya menjadi sebuah obat jangka panjang yang dikonsumsi ayahnya.
“Sembuh saja dulu, baru memikirkan hal tersebut.” Balas anaknya. Ia tidak mau ayahnya berharap begitu banyak akan pernikahannya. “Sekarangkan sudah Habibi, yang menjadi obat dari segala masalah.” Ujarnya.
“Kamu jangan pesimistis. Sakit ini bukanlah jalan pulangku menghadap Sang Khalik. Dan bahkan bagiku, ini bukanlah sebuah penghalang untuk terus bekerja. Mempersiapkan yang terbaik buat kalian.” Ucap ayahnya, sambil memperhatikan orang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut. “Aku akan sembuh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar