Isi media merupakan sebuah informasi yang dapat merubah sebuah persepsi masyarakat terhadap apa yang disampaikan oleh media tersebut. Apalagi isu yang disampaikan mengenai sebuah pemberitaan mengenai pemerintahan. Ini merupakan isu sangat sensitif bagi khalayak. Semakin gencarnya media dalam memberitakan isu tentang boroknya pemerintahan kita maka akan semakin gencar juga fokus khalayak terhadap isu tersebut.
Sejak pertumbuhan era kapitalis media massa mulai terjebak pada dua pilihan, yakni mengutamakan kepentingan publik atau malah mengutamakan menciptakan sebuah keuntungan. Ini membuat media massa menjadi sangat dilematis.
Pada tahapan konstruksi realitas media massa, pekerja media massa memeliki tiga keberpihakan: Pertama ialah keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dengan demikian, media massa tidak bedanya dengan super market. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat media massa yang laku di masyarakat.
Kedua ialah keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah untuk “menjual berita” dan menaikan rating untuk kepentingan kapitalis. Dan yang ketiga ialah keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
Lahirnya berbagai media massa bukan malah menjadi tonggak utama pers untuk memberdayakan kualitas khalayak. Lahirnya mereka tidak semata atas sebuah kepentingan dari para pemiliknya.
Menurut Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Heryanto, kepemilikan media menjadi hal yang sangat dilematis dalam dinamika industri media. Dalam hal ini, siapapun yang memiliki modal besar dan mempunyai kepentingan akan berusaha menguasai media. Karena era perpolitikan Indonesia saat ini telah memasuki fase politik pencitraan.
Memang kini peran yang dimainkan oleh media massa bukan lagi hanya sekedar memainkan informasi-informasi politik saja. Melalui jangkauan mereka yang begitu mudah digapai oleh khalayak kini mereka juga menjadi aktor dari sistem politik tersebut.
Komodifikasi isu-isu yang berkaitan dengan aktor-aktor politik, elit politik dan elit pemerintah, dan juga tokoh partai lebih penting disampaikan oleh media massa ketimbang dengan ideology partai, program partai atau bahkan program pembangunan pemerintah. Bahkan media massa kini telah sampai pada kondisi sanggup untuk menurunkan elit partai maupun elit pemerintah melalui entitas berita yang terus menerus disampaikan kepada khalayak dengan mengedepankan aspek negatif elit tersebut.
Tentu kini kita tersadar bahwa apa yang terjadi pada media massa bukanlah sesuatu yang apa adanya terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Gun Heryanto di atas, kini era perpolitikan kita telah masuk pada fase politik pencitraan. Mereka yang memiliki modal dan kepentingan menjadi penguasa satu persatu memiliki media massa sebagai alat pencitraannya. Kini keberpihakan media massa semakin jelas bahwa mereka bekerja atas kemauan sang pemilik bukan lagi atas kepentingan umum. Kini ideology media massa adalah melayani kepentingan pemiliknya dan juga mengemas sedemikian rupa kepentingan tersebut agar menjadi laku di khalayak. Ini satu hal yang tidak bisa dipungkiri.
Seperti apa yang dikatakan oleh Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content isi media massa kini dibentuk oleh berbagai faktor yang menghasilkan beragam versi mengenai sebuah realitas. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam membentuk isi media antara lain ialah: orientasi personal dari para pekerja media, professionalisme, kebijakan perusahaan, pola kepemilikan perusahaan, lingkungan ekonomi, pengiklan, dan pengaruh-pengaruh ideologi. Dan yang saat ini lebih menonjol adalah kepentingan pemilik yang dibungkus dengan kebijakan perusahaan. Para pekerja di media massa seakan tidak lagi berdaya untuk menentukan isi sebuah realitas dalam media.
Memang betul saat ini media massa menjadi actor politik melalui apa yang disampaikannya. Bahkan seperti dikatakan di atas media mampu menurunkan elit partai maupun elit penguasa melalui isi yang disampaikan mereka kepada khalayak. Semakin gencarnya media dalam memberitakan isu tentang boroknya pemerintahan kita maka akan semakin gencar juga fokus khalayak terhadap isu tersebut sehingga akhirnya membuat khalayak bergerak untuk menuntu mundur mereka elit partai maupun pemerintah yang terlibat dalam sebuah kasus negatif tersebut. Namun ini bukan lagi menjadi sebuah realitas yang murni yang ditampilkan oleh media massa. Ini merupakan peang kepentingan yang dimainkan oleh pemilik media yang juga memiliki kepentingan di pemerintahan.
Menurut Veven SP. Wardhana dalam Budaya Massa, Agama, Wanita, ia mengatakan jika penguasa menguasai media, bahkan penguasa adalah pemilik media itu sendiri, hanya pembenaran belaka yang kemudian bermunculan. Tidak heran untuk memuluskan kepentingan mereka dalam bidang politik, pemilik media saat ini melalui medianya lebih cenderung menjual fitnah terhadap lain pihak sambil menyembunyikan borok diri sendiri.
Kecenderungan ini sesungguhnya membuat khalayak semakin skeptis terhadap politik itu sendiri. Peran aktif mereka melalui pemilihan umum kini semakin hari semakin memudar. Ini yang diabaikan oleh para penguasa dan pengusaha tersebut. Dan hal ini juga yang membuat mereka tak kunjung sadar.
Melalui hak istimewa mereka dalah menentukan siapa penguasa yang akan memimpin dan kebijakan apa yang akan mereka jalankan seperti yang ditawarkan sebuah kekuasaan, khalayak kini malah cenderung memilih untuk tidak memilih. Padahal kedaulatan Negara ada di tangan rakyat itu sendiri. Legitimasi pemerintah menjadi sedikit berkurang dimata rakyat.
Seperti yang disampaikan Siti Aminah melalui tulisannya yang berjudul Media dalam Demokrasi Postmodern yang terdapat dalam Jurnal Politika, jika ada rakyat yang memilih untuk tidak memilih pada pemilihan umum baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan wakilnya sampai pada pemilihan kepala daerah mereka bukanlah sesuatu individu yang bodoh, melainkan sudah tidak lagi tertarik dengan daya tawar yang diberikan oleh kontestan pemilu tersebut.
Seharusnya ini menjadi sebuah kesadaran tersendiri bagi pelaku politik agar mereka sadar bahwa apa yang mereka sampaikan tidak sejalan dengan kenyataan. Begitupun dengan pemilik media yang juga memiliki kepentingan di kekuasaan, bahwa fitnah dan isu buruk terhadap lawan politik mereka yang disampaikan melalui medianya malah membawa dampak buruk bagi pemikiran khalayak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar