Senin, 27 Januari 2014

Menolak Oligarki Elit Partai

Mengutip dari Anas Urbaningrum dalam bukunya “Janji Kebangsaan Kita”, partai politik merupakan cermin dari masyarakatnya. Variasi ideologi partai-partai politik yang ada merupakan cerminan dari variasi ide yang hidup di masyarakat. Partai politik yang berdiri setelah reformasi mengedepankan nasionalisme, dalam arti menjaga keutuhan Negara bangsa dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia melalui jalan demokratis. Inilah hasil dialektika komunitas politik yang menghasilkan sintesa sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya masing-masing.

Kebaradaan partai politik yang berkompetisi secara fair dalam proses politik adalah prasyarat utama dari eksistensi sistem demokrasi.

Pada Pemilu 2014 ini, ada 12 partai politik yang berkompetisi. Hampir kesemuanya mengusung ideologi Pancasila. Hanya PPP dan PKS saja yang masih menonjolkan dirinya sebagai partai islam, meskipun terkadang mereka mengakui dirinya sebagai partai berdasarkan Pancasila. Kesemuanya tersebut mencoba merebut suara rakyat untuk siap menjadi pemenang pada Pemilu nanti.

Partai politik bukan hanya menjadi elemen utama dalam berjalannya demokrasi. Mereka hadir bukan hanya bertarung untuk menjadi pemenang dalam pemilihan yang terlaksana secara jujur dan adil. Atau lebih tepatnya partai politik bukan hanya menjadi elemen utama dalam menentukan arah dan kebijakan suatu bangsa melalui pemilihan umum. Jika kita hanya melihat demokrasi secara procedural, pendapat-pendapat tersebut sudahlah tepat. Artinya setelah partai politik memenangi pemilihan umum, mereka dalam menjalankan mekanisme kekuasaan mengabaikan kepentingan partisipasi masyarakat yang lebih jauh. Partai politik hanya menganggap aktifitas politik masyarakat sebatas sampai di bilik suara yang tak lebih dari lima menit tersebut.

Sebaiknya partai politik menjalankan aktifitasnya, baik menjadi pemenang saat Pemilu ataupun menjadi pihak yang kalah mereka ikut memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik yang lebih jauh. Hal ini seperti perwujudan demokrasi partisipatoris, yang mendorong keterlibatan masyarakat untuk ikut aktif dalam proses pembentukan peraturan dan perundang-undangan. Bagaimanapun juga hal ini menyangkut kehidupan mereka agar nantinya peraturan dan perundang-undangan tersebut memihak kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat ke depan nantinya.

Menurut Geovani Sartori, partai politik memiliki peran untuk menjaring dan menjadi jembatan antara kehendak publik dan proses-proses pengambilan kebijakan di level Negara.

Namun realitasnya pada saat ini partai politik hanya menganggap demokrasi sebatas dalam konteks procedural saja dan mekanisme perebutan kekuasaan. Sering kali atau bahkan memang tidak sama sekali partai politik memberikan kesempatan kepada warga Negara untuk terlibat aktif dalam pembentukan peraturan dan perundang-undangan. Dan hal inipun sejalan dengan apa yang terjadi pada lapisan masyarakat. Mereka menganggap demokrasi sebatas permainan kepentingan-kepentingan elit politik saja dan tidak berhubungan dengan upaya merealisasikan kesejahteraan dan keadilan social pada tahap kehidupan mereka.

Kesadaran politik masyarakat juga harus kita kembali tingkatkan agar pelaksanaan demokrasi bukan hanya sebagai mekanisme pergantian kekuasaan saja. Mereka juga memiliki hak untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan. Bahkan masyarakatpun berhak untuk ikut dan bahkan mengajukan suatu rancangan peraturan atau perundang-undangan yang baru. Agar mandat yang telah mereka berikan kepada partai politik melalui pemilihan umum tidak disalahgunakan.

Sudah menjadi barang umum, partai politik melalui elit dan kedernya selalu mengabaikan kepentingan masyarakat. Jangankan hal tersebut, mereka (Parpol) rela menghianati janji-janjinya semasa kampanye ketika sudah terpilih menjadi penguasa.

Menarik untuk menyimak apa yang dituliskan oleh Jeffrie Geovani dalam Civil Religion (2013), menurutnya partai politik tak lebih dari sekedar mesin politik manakala ada hajatan politik. Di luar itu partai menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat dan melanggengkan kekuasaan oligarki elit. Disamping tidak mengartikulasikan aspirasi rakyat, pada faktanya politik lebih dijalankan secara kotor, penuh tipu muslihat, dan lebih berbahaya lagi, sarat fitnah.

Sejauh ini, partai politik dalam praktiknya selain sering kali mengabaikan aspirasi masyarakat dalam pembentukan peraturan dan perundang-undangan, partai politik hanya menganggap demokrasi sebatas sistem procedural dan mekanisme perebutan kekuasaan. Tak lebih dari itu. Ideologi partai seringkali mereka campakkan, demi memenuhi hasrat untuk berkuasa atau untuk ikut berkuasa.

Permasalahan partai politik bukan hanya sebatas hal tersebut di atas, oligarki dan personalisasi kepemimpinan dalam partai politik juga menghambat terlaksananya proses demokratisasi. Airlangga Pribadi menuangkan pikirannya dalam makalah “Sepuluh Tesis tentang Problem Kepemimpinan dan Demokratisasi Politik Kepartaian” menuliskan bahwa keberhasilan mendobrak rezime otoriatarian pada masa Soeharto justru diikuti dengan reproduksi habitus otoriter melalui sikap oligarkhi politik di internal partai pada masa reformasi, yang dijalankan oleh para aktivis-aktivis utama demokrasi yang menjadi petinggi puncak partai politik.

Rupanya hal ini juga menjadi alasan utama kenapa kepentingan masyarakat kerap kali diabaikan oleh partai politik. Kader-kader partai politik hanya bekerja untuk memenuhi ambisi dan kepentingan elit-elit partai saja, bukan bekerja menjadi jembatan untuk mengartikulasikan kepentingan dan kehendak masyarakat. Hingga pada akhirnya, kehendak dan kepentingan masyarakat akan tersingkirkan jika tidak sejalan dengan kehendak elit partai.

Kenyataan ini sungguh sangat menyakitkan. Antara partai politik dan masyarakat tidak lagi sejalan untuk membangun pondasi demokrasi yang kokoh. Partai yang kerap kali mengabaikan masyarakat setelah pemilihan umum dan masyarakat hanya menganggap demokrasi sebatas permainan kepentingan-kepentingan elit partai tanpa mengetahui bahwa demokrasi berhubungan dengan upaya merealisasikan kepentingan mereka dan menciptakan keadilan social membuat perjalanan demokrasi hanya isapan jempol semata. Demokrasi belum mencapai hakikatnya.

Robert Dahl menyatakan bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang berjalan terus menerus bukan sesuatu yang diciptakan langsung jadi. Ia tidak berjalan linear seperti garis lurus, karena dalam prosesnya kerap kali harus menghadapi benturan dan jalan penuh liku. Ada baiknya kita (masyarakat) dan mereka (partai politik) terus bergandengan tangan dan tidak sampai menghianati satu sama lainnya, agar demokrasi dapat membawa manfaat bagi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae