Tentu kita masih teringat dengan pemikiran Adnan Buyung Nasution tentang demokrasi. Menurutnya, demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus terus menerus kita bangun sebagai proses yang akan memakan waktu. Demokrasi bukan sekedar alat untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan demokrasi ialah harus mengandung aspek-aspek demokrasi tersebut. Tentunya hal ini harus dibarengi dengan pendidikan, pendewasaan dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat tidak hanya berada dalam lapisan terluar dalam proses demokrasi, tetapi mampu menjangkau lapisan ini dari demokrasi, yakni mengawasi dan mengontrol kekuasaan.
Kata kedaulatan sering kali kita dengan sepanjang perjalanan demokrasi bangsa ini. Rakyatlah yang menentukan kepada siapa mereka akan dipimpin dan akan kemana arah kebijakan bangsa ini akan berjalan. Ini didukung dengan adanya pelaksanaan pemilihan umum yang bebas serta jujur dan adil sebagai wadah untuk memenuhi kedaulatan rakyat.
Pendidikan merupakan sebuah faktor utama dalam mencapai demokrasi. Dengan sebuah latar belakang pendidikan yang mapan, masyarakat mampu mengontrol dan mengawasi setiap proses pembuatan peraturan dan perundang-undangan yang baru agar memihak kepada kepentingan dan kebutuhan mereka. Wujud masyarakat seperti ini ialah munculnya kelompok kemasyarakatan yang mapan dan terpola. Kehadiran kelompok kemasyarakatan tentunya harus jauh dari hasrat untuk mengakumulasi uang dan kekuasaan. Justru yang harus hadir ialah kelompok kemasyarakatan yang mengurusi kehidupan social seperti kebenaran, kebaikan, keadilan dan berbagai macam lainnya.
Kini Bangsa kita mendekati usia yang hampir 69 tahun, mendekati pemilihan umum langsung yang ketiga kalinya, dan Indonesia telah menempati posisi ketiga sebagai negeri paling demokrasi di seluruh dunia, namun berbagai macam persoalan Bangsa tak kunjung selesai, terutama maslah kemiskinan. Sebenarnya apa yang berkembang dalam kehidupan politik mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kini jarak yang begitu menganga lebar antara si kaya dengan si miskin. Dan yang tragis, derita si miskin tak jarang yang berakhir kepada kematian.
Yang jarang kita sadari, demokrasi sebenarnya bukan hanya membawa kita pada kedaulatan politik semata, melainkan juga dibidang ekonomi dan berbagai bidang lainnya. Adanya jaminan untuk mengontrol dan mengawasi kekuasaan yang demokrasi harus dilaksanakan dengan sebaiknya dalam segala aspek kehidupan.
Kita harus ingat, yang menjadi warisan paling berharga untuk kita dari para pendiri bangsa ialah UUD 1945 dan Pancasila. Dalam alinea ke IV pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “ … untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …”.
Jimly Asshidiqie mengungkapkan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, ditambah prinsip keadilan sosial dalam rumusan Pancasila pada alinea IV tersebut sangat erat dengan kebijakan ekonomi. Lebih jauh lagi, rumusan tersebut terwujudkan dalam pasal 33, meskipun telah diamandemen keempat kalinya, pasal ini terus dijaga dan tak pernah diubah, hanya ditambah beberapa ayat yang dirasa diperlukan untuk memperjuangkan ekonomi.
Kembali seperti yang dituliskan pada bagian atas, apa yang berkembang pada dimensi politik akan mempengaruhi kehidupan dimensi ekonomi. Wujud dari kedua hubungan tersebut ialah dengan lahirnya konsep demokrasi ekonomi. Konsep ini merupakan pencarian dari para pendiri bangsa untuk menemukan sebuah bentuk perekonomian yang tepat dan sesuai dengan karakter masyarakat. Karena itu, konsep demokrasi ekonomi merupakan konsep yang sangat khas dengan kehidupan bangsa dan sangat jarang ditemukan pada kamus ekonomi manapun.
Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta dan Ekonomi Islam” karangan Anwar Abbas, menyatakan “demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mendjadi sjarat bagi soeatoe masjarakat jang berdasar keadilan dan kebenaran, jang menjempoernakan tjita-tjita bahwa tiap-tiap rakjat berhak untuk menentoekan nasibnja sendiri.”
Saat ini, wujud perpolitikan kita telah banyak oleh para pengusaha, baik di parlemen maupun dalam jajaran kabinet. Bahkan menjelang Pemilu 2014 ini, kandidat para calon presiden dan wakilnya banyak yang berlatar belakang pengusaha. Kebijakan-kebijakan pemerintah kini tidak jauh dari kepentingan-kepentingan yang menguntungkan para pengusaha yang kini berwujud penguasa.
Berbicara tentang kedaulatan rakyat, yaitu kedaulatan yang dilaksanakannya harus dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Semua sumber daya di bidang politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat, rakyat yang berdaulat. Artinya di sini kita dapat melihat seharusnya semua cabang kekuasaan pemerintah dan Negara dalam melaksanakan kekauasaannya harus berdasarkan kepentingan rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Secara teoritisnya jika semua elemen demokrasi sadar akan tugasnya masing-masing, kondisi bangsa ini akan menjadi sejahtera dan adil. Namun, hal ini sangat berbanding terbalik. Partai politik sebagai pelaku utama dalam sistem demokrasi gagal membumikan tugas-tugas utama dalam prakteknya. Setelah partai politik menganggap demokrasi hanya sebagai sistem procedural dan mekanisme perebutan kekuasaan, partai politik kini berada dalam titik terendah. Partai politik juga hanya melahirkan kembali penyakit lama pada masa Orde Baru yakni sebuah kekuasaan yang otoriter di dalam internal partai. Para aktivis pra reformasi yang kini menjadi elit partai politik malah terjebak pada sifat lawan politiknya di masa silam. Roda perjalanan partai kini hanya sebatas kepentingan elit partainya saja.
Di saat yang bersamaan, masyarakat sudah mulai jenuh. Ketidakadilan yang mereka rasakan secara terus menerus membuat mereka kini apatis terhadap sistem demokrasi. Masyarakat tidak lagi menganggap demokrasi sebagai sebuah upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kini masyarakat hanya menganggap demokrasi bagian dari pemainan kepentingan-kepentingan elit politik saja.
Pada bagian akhir ini, kita melihat sangat jelas betapa begitu eratnya hubungan antara politik dan ekonomi. Kemiskinan rakyat kita yang telah begitu lama, secara tidak langsung dibuat para pelaku elit politik. Kiranya, pada 1998 setelah kediktatoran Soeharto runtuh akan ada perubaha pada struktur kehidupan. Nyatanya tidak, malah kediktatoran Soeharto diteruskan oleh orang-orang yang begitu ingin menjatuhkannya di masa lalu. Sekarang, pengusaha yang berlomba untuk menjadi penguasa tumbuh subur. Mereka bukan ingin mengabdikan diri mereka kepada bangsa ini, melainkan ingin melanggengkan harta kekayaannya dengan cara menjadi penguasa. Ekonomi rakyat kecil tidak lagi diperjuangkan jika pengusaha-pengusaha tersebut telah berkuasa. Sebabnya ialah karena mereka adalah bagian dari kaum kapitalis yang terus mengeruk sumber daya Indonesia untuk kepentingan kelompoknya semata bukan untuk kepentingan kita semua termasuk rakyat kecil. Kini yang tersisa dari penderitaan dan ketidakadilan tersebut adalah kebodohan. Masyarakat tidak mengerti apa-apa, demokrasi hanya dianggapnya sebagai permainan elit semata, bukan lagi sebagai upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kontrol untuk mengawasi pemerintah menjadi lemah dalam kelompok kemasyarakatan akibat dari kemiskinan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar