Siapa yang akan melanggang nanti ke parlemen akan sangat ditentukan dengan siapa yang akan mereka usung menjadi calon presiden dan wakilnya nanti. Karena hampir semua partai politik yang akan berkompetisi pada pemilu 2014 ini selalu gencar menampilkan tokoh-tokoh yang mereka anggap layak menjadi pemimpin nanti. Namun hampir semua calon yang mereka tampilkan untuk menjadi calon pemimpin nantinya sebagian besar adalah tokoh-tokoh lama yang sudah keropos tajinya. Lebih parahnya, sebagian dari mereka telah memiliki rapor merah dalam sejarah peradaban bangsa kita dan sebagian lagi merupakan orang-orang yang telah gagal dalam memimpin bangsa meski telah diberi kesempatan berkali-kali.
Ada juga partai politik yang giat melakukan konvensi dalam menghadapi persaingan pada pilpres yang akan datang nanti. Namun hal ini dianggap sebagai upaya untuk menaikkan angka elektabilitas partainya setelah dalam perjalanan periode ini menjadi pesakitan karena ada banyaknya kader-kader yang terlibat dalam kasus korupsi. Konvensi tersebut juga disebut-sebut telah tersusun rapi siapa yang akan memenanginya.
Upaya lain juga dilakukan oleh partai politik lainnya dalam melakukan upaya publisitas dalam masyarakat agar partai mereka dapat lolos ke parlemen dengan melebihi ambang batas yang telah ditentukan. Partai politik seperti ini biasanya menonjolkan atau mencomot para artis dan tokoh publik figure lainnya yang notabennya bukan kader inti dari partai mereka untuk maju menjadi Caleg dalam persaingan pemilihan legislatif nanti. Ini merupakan sebuah siasat negatif partai politik dalam melakukan demokratisasi di internal partainya. Mereka tampak tak percaya diri dengan sumber daya internal partainya.
Ada juga partai politik yang memajukan sebuah wacana kekalangan publik dengan “mencalonkan” tokoh-tokoh kontroversi yang dalam kenyataannya tokoh tersebut memang tak layak untuk dicalonkan menjadi seorang presiden. Kenapa dapat dibilang seperti itu, karena tokoh-tokoh tersebut tak memiliki kemampuan lebih dalam mempertahankan sebuah wawasan kebangsaan yang telah lama terbangun. Tokoh tersebut lebih sering menonjolkan identitas primordial baik agama maupun agama tertentu untuk menjadi sebuah identitas kebangsaan yang majemuk ini. Lalu kenapa partai politik masih mengedepankan tokoh seperti ini? Sudah jelas terbaca, agar partai politik yang “bermain” dalam wacana seperti ini meraih angka ketertarikan masyarakat terhadap partainya.
Pertanyaannya adakah calon pemimpin bangsa ini yang benar-benar segar dan mampu membawa angin perubahan yang tidak hanya berpihak pada satu kelompok saja dan tidak pernah memiliki rapor merah dalam sejarah bangsa ini? Sebenarnya ada beberapa tokoh yang seperti tersebut, namun jarang yang benar-benar berani dan memiliki pendukung yang kuat.
Belakangan, nama Jokowi digadang-gadang sebagai kandidat kuat yang mampu menjadi presiden di republik ini. Ada yang memprediksi dia akan dicalonkan menjadi pendamping Megawati atau bahkan akan maju sebagai calon presiden. Siapapun yang akan didampingi atau mendampingi Jokowi, dia dalam beberapa jejak pendapat akan terpilih menjadi seorang presiden. Hadirnya Jokowi dalam persaingan dan peta percaturan di ranah politik sedikit memberi angin segar akan suramnya bangsa ini dari sebuah krisis kepemimpinan.
Jokowi merupakan satu sosok yang memiliki kesederhanaan dalam berpolitik. Dialah pemimpin yang selama ini kita cari. Dia mampu terjun langsung ke masyarakat dengan mendengar segala keluh kesah yang dirasakan oleh warganya. Ini telah terlihat di kota Solo yang telah dua periode dia pimpin. Masyarakat sana mampu terwakilkan dengan gaya asketisme politiknya. Asketisme politik secara sederhana seperti yang pernah saya baca dalam tulisan Gun-gun Heryanto merupakan upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan atas prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Cara berpolitik seperti inilah yang selama ini kita harapkan di Indonesia dan itu telah terlihat betapa diinginkannya Jokowi menjadi pemimpin setelah ia berhasil terpilih menjadi Gubernur Jakarta saat ini.
Kehadiran Jokowi dalam dunia politik telah sedikit menghapuskan kekecewaan yang mendalam yang dirasakan oleh masyarakat. Para pemimpin yang ada selama ini, hanya mempertontonkan pertengkaran memabukkan dalam memperebutkan kekuasaan. Para calon presiden yang akan maju dalam persaingan nanti sangat dekat dengan kejahatan korupsi, kekerasan, kemiskinan, dan tentang kepura-puraan betapa mereka memiliki kepedulian.
Di saat seperti ini kehadiran calon pemimpin muda macam Jokowi adalah sebuah harapan, sebuah rekayasa generasi agar bangsa ini kedepan memiliki pemimpin yang segar dengan kemampuan yang memadai. Bangsa ini harus optimis betapa kaum muda memiliki keunggulan pada sikapnya yang progresif, berani, visioner, dan mereka mampu menyatu dengan masyarakatnya.
Belum adanya sejarah hitam yang disandang oleh Jokowi dalam menjadi seorang pemimpin merupakan sebuah kelebihan besar dirinya dalam persaingan menjadi presiden pada periode nanti. Meskipun menjadi seorang kandidat baru dalam kompetisi calon presiden, kesempatan itu tidaklah terlalu tertutup. Keberhasilannya terpilih sebagai Gubernur Jakarta melawan Hidayat Nur Wahid dan calon incumbent macam Foke menandakan bahwa masyarakat telah jenuh dengan tokoh tua dan kurang kuatnya hubungan yang terjalin antara pemilih dan kandidat membuat hal tersebut tak mustahil menjadi kenyataan.
Jokowi dengan asketisme politiknya mampu menciptakan sebuah rasa kebersamaan yang dirasakan dalam benak masyarakat. Dengan kesederhanaanya dalam memimpin membuat masyarakat telah ter influence. Jokowi tidak perlu menggunakan argumentasi, kekerasaan, atau intimidasi dan bahkan manipulasi untuk menyakinkan masyarakat agar memilih dirinya. Jokowi cukup bekerja dengan nyata, masuk keluar lingkungan masyarakat dalam mengupayakan sebuah kebijakan yang memihak kepada mereka. Meskipun Jokowi datang tidak dengan modal politik yang cukup kuat, namun kinerjanya telah menjawab semua harapan yang bersandar dalam diri masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar