Bangsa Indonesia terus berusaha untuk mewujudkan sebuah Negara yang kesejahteraan dan keadilan sosialnya berdiri kokoh menyeluruh di semua lapisan masyarakat. Cita-cita kemerdekaan Indonesia bukanlah dilahirkan untuk segelintir orang yang akan memiliki kekayaan. Cita-cita sejati kemerdekaan ialah semua rakyat sejahtera, merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya. Untuk memenuhi cita-cita tersebut, pendiri bangsa Indonesia menjatuhkan sebuah pilihan pada sebuah konsep demokrasi demi memenuhi cita-cita luhur tersebut. Bagi Adnan Buyung Nasution, demokrasi bukanlah sebuah cara untuk mencapai sebuah tujuan tertentu, melainkan tujuan-tujuan tersebut harus sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam sistem demokrasi itu sendiri. Soekarno merumuskan demokrasi harus sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila dan UUD 1945 agar tidak saling bertentangan perjalanannya. Ada lima prinsip dari Pancasila yang harus dipegang teguh dalam kehidupan bernegara merdeka Indonesia, yaitu kebangsaan Indonesia, perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan.
Proses demokratisasi yang terus bergulir di indoensia secara bersamaan dibarengi dengan berlahirannya partai-partai politik sebagai pilar utama dalam konsep demokrasi. Kelahiran partai politik tersebut bertujuan untuk melakukan check and balances agar proses kekuasaan berjalan jangan sampai pada titik otoriter yang bersifat oligarki dan oligopoli. Kehadiran partai politik juga diharapkan agar aspirasi-aspirasi publik dari kalangan bawah yang progresif mampu menjadi kebijakan politik melalui partai politik. Tentunya kebijakan tersebut tidak merugikan kepentingan dan kebutuhan publik itu sendiri.
Di Indonesia, kelahiran partai-partai politik baru didukung oleh adanya sebuah kebebasan untuk membentuk sebuah organisasi dan partai politik. Dengan ini, setelah keran demokrasi di buka pada tahun 1998, partai politik yang bermunculan mencapai 141 partai politik baru. Hal tersebut dianggap sebagai sebuah ledakan politik setelah sekian lama mendapat keterbatasan dan ketertutupan.
Selain itu, kelahiran partai politik baru juga karena kondisi masyarakat yang majemuk. Masyarakat Indonesia telah terbiasa hidup berdampingan satu sama lain dengan harmonis meski latar belakang mereka berbeda. Begitu banyaknya corak yang berbeda-beda namun hidup berdampingan membuat lahirnya partai politik baru semakin besar. Mereka dengan membawa kepentingan dan cita-cita masing-masing kelompok mengadu nasib melalui jalan pemilihan umum agar terwujud apa yang mereka dambakan.
Namun, hal yang kedua tersebut ibarat duri dalam sebuah perjalanan menuju Negara yang demokratis. Munculnya partai politik baru yang menonjolkan sebuah identitas tertentu, seperti agama misalnya, akan merusak tatanan kerukunan yang telah lama tumbuh. Perilaku seperti tersebut sebenarnya dapat dengan mudah menggantikan politik berkewarganegaraan dan wawasan kebangsaan dengan politik yang dibalut atas penonjolan identitas tersebut. Hal ini ditakutkan akan menjerumuskan masyarakat ke dalam jurang fanatisme kelompok atau SARA, atau berkembang secara tak terkendali yang memberantakkan cita-cita bangsa dan Negara.
Mengutip Gary W. Cox dalam tulisan Kacung Marijan “Partai Baru, Electoral Threshold, dan Masa Depan Sistem Multipartai” dijelaskan bahwa munculnya partai baru itu pada dasarnya merupakan keputusan elit politik untuk memasuki arena pemilihan sebagai kontestan baru. Keputusan demikian berdasarkan pada tiga pertimbangan penting, yaitu; biaya untuk memasuki arena, keuntungan-keuntungan yang didapat manakala duduk di dalam kekuasaan, dan adanya kemungkinan untuk memperoleh dukungan dari para pemilih.
Hal yang perlu untuk diingat ialah suara pemilih yang masih belum terikat kuat kepada partai politik yang sudah ada sehingga memungkinkan untuk berpindah mencari alternatif lain. Masih terbukanya kemungkinan memperoleh dukungan dari para pemilih semakin besar peluang untuk bermunculannya partai-partai politik baru. Hubungan yang kurang kuat antara pemilih dan partai politik menandakan bahwa proses demokratisasi di Indonesia belum mencapai pada tahap kemapanan. Berbeda dengan Negara-negara yang sudah mapan proses demokratisasinya cenderung sangat sedikit sekali kemunculan partai politik barunya.
Fenomena kemunculan partai politik baru juga tidak terlepas dari belum terlembaganya proses penyelesaian konflik di internal partai. Sehinggga mereka-mereka yang kecewa dan tersingkir di dalam konflik tersebut berusaha membentuk partai politik baru.
Namun dari gejala dan berbagai alasan di atas yang menelurkan partai politik baru di era reformasi ini tidak membawa angin perubahan bagi pemerataan ekonomi dan keadilan sosial dalam kehidupan bernegara. Reformasi hanya sebatas ledakan demokrasi politik saja, belum sampai pada tahap untuk mengupayakan terwujudnya demokrasi ekonomi, yakni sebuah pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan pemerataan disemua lapisan masyarakat yang sesuai dengan amanah UUD 1945 dan Pancasila.
Hal ini didasari karena lahirnya partai politik baru hanya menjalankan kepentingan dan kebutuhan segelintir elit politik saja. Para kaum reformis masa Orde Baru yang kini menjadi petinggi partai mendaur ulang kesalahan yang dilakukan penguasa rezim masa lalu dengan menjadi pemimpin yang otoriter dalam internal partai politiknya. Partai politik kini hanya sebatas alat untuk menjalankan kepentingan dan kebutuhan para penguasanya saja. Hal tersebut diperparah dengan masuknya para pengusaha yang berlomba untuk menjadi penguasa. Kini para pengusaha tersebut tidak lagi malu-malu untuk masuk dalam ranah politik. Jika dahulu mereka hanya sebatas menjadi donatur partai, kini mereka perlahan masuk untuk menjadi petinggi partai. Tujuannya sudah jelas, agar mereka terhindar dari kebijakan pemerintah yang akan merugikan perusahaannya. Selain itu, agar perusahaan mereka juga terhindar dari pajak yang begitu besar nominalnya.
Sudah jelas, lahirnya partai politik tidak berbanding lurus dengan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Begitu banyaknya lobi-lobi politik yang terjadi di dalam internal partai politik membuat mereka tidak sanggup lagi mewadahi aspirasi rakyat untuk dijadikan kebijakan politik melalui partai politik.
Fenomena tidak terjalinnya hubungan yang kuat antara partai politik dan pemilih sebenarnya tidak hanya membuka peluang untuk lahirnya partai politik baru. Fenomena ini juga mampu menciptakan jarak yang begitu lebar antara rakyat dan partai. Hubungan yang tidak begitu erat menyebabkan kontrol yang dilakukan rakyat kepada partai politik untuk menjaga agar kebijakan dan peraturan yang akan dibuat tidak bertentangan dengan keinginan dan kebutuhan yang dikehandaki rakyat. Sehingga pada akhirnya, partai politik yang terus bertambah jumlahnya dengan membawa konsep baru belum mampu membuat satu perubahan yang nyata dalam tatanan pemerataan pembangunan.
Sebaiknya kini kita merenungkan kembali tentang posisi Indonesia dalam Negara paling demokrasi di seluruh dunia pada peringkat ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Apalah artinya posisi tersebut jika dalam realitasnya demokrasi yang sedang kita jalankan belum mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Untuk yang terakhir ini, Samuel P. Huntington dalam tulisan Lili Romli “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan” menjelaskan bahwa dalam konteks pembangunan politik yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauhmana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Sebuah kepartaian disebut kokoh dan adaptabel kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar