Dunia masih saja menyalahkan orang-orang yang tak bersalah. Terutama dicari-cari kesalahannya. Misalnya seperti angkutan umum. Kehadirannya sungguh tak bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Seperti angkutan umum, kadang kehadirannya selalu dianggap sebagai biang kerok dari kemacetan dan pencemaran udara. Ini adalah salah yang disalah-salahkan. Coba lihat, lebih banyak mana jumlah kendaraan pribadi atau angkutan umum? Sebagai salah satu pengguna angkutan umum tentu aku merasa keheranan dengan tuduhan-tuduhan yang disematkan kepadanya. Sial sekali memang nasibnya hadir di negeri setengah merdeka ini.
Seperti biasa, pagi ini sampai kampus lebih awal dari sebagian mahasiswa yang lain. Kemacatan Ibu kota membuatku belajar semakin disiplin waktu. Berangkat lebih awal ialah salah satu caraku untuk terhindar dari masalah besar kota metropolitan ini. Banyak juga yang seperti diriku, datang lebih awal akan memudahkan kita menerima pelajaran. Ini dikarenakan kondisi fisik sudah stabil dan pikiran masih terhindar dari sentimen negatif macam kemacetan jalan raya. Dan bagaimanapun juga kita tak boleh menghindari pagi hari, karena pagi adalah awal bagi kita untuk memulai kehidupan. Maka awalilah pagi dengan riang dan gembira.
Ada banyak orang melewati pagi. Dan banyak pula yang membenci pagi. Seperti aku. Akulah penggemar pagi. Pagi yang selalu ku nanti.
Seperti pagi di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus. Di sana pernah ku temui pagi yang ceria. Mereka bermain-main dengan penuh kejujuran. Tak ada yang disembunyikan. Mereka berlarian, canda, tawa dan kadang juga merengek menangis. Di sana ada kejujuran yang Tuhan simpan agar tak tersentuh manusia-manusia munafik yang selalu menyimpan kebenaran. Di sana juga aku merasakan sesuatu, kenapa kita yang sempurna tidak bisa menerima mereka dengan tulus dilingkungan yang lebih luas. Apa salah mereka. Kesempurnaan kadang membuat kita berbohong pada Tuhan.
Aku bersama mahasiswa lainnya mencoba berinteraksi dengan mereka. Mencoba belajar memahami dan mengenal mereka lebih dekat. Ejekan-ejekan yang kerap kali mereka terima dilingkuangan bebas membuat mereka merasa takut. Mereka dijauhi. Dicaci. Kadang, kekurangannya dijadikan bahan candaan oleh manusia-manusia lainnya. Sehingga mereka bersembunyi, menyendiri.
Pagi itu, dikala kami sedang berkomunikasi dengan para siswa kulihat satu mata yang penuh dengan air mata. Mata yang sudah tak mampu menampung keharuan. Mata yang seakan menyesali, kenapa tak mengenal anak-anak seperti mereka sejak dahulu. Mata yang seakan penuh gerakan ingin memeluk mereka semua. Mata Ainun yang kini tak sanggup lagi membendung air matanya. Akhirnya iapun menangis. Berlari ke kamar mandi untuk menyembunyikannya.
Biasanya aku melihat Ainun penuh semangat dan gairah. Matanya selalu antusias tiap kali melihat orang lain bicara. Mata yang selalu fokus ketika dosen-dosen mempersembahkan ilmunya kepada mahasiswa. Mata yang selalu marah ketika kaumnya diremehkan. Mata yang selalu menampakkan ketulusan ketika berpapasan dengan seorang pengemis. Dan bagiku, menatap matanya di pagi hari adalah sebuah harapan.
Aku juga pernah melihat Ainun menangis. Suatu pagi. Ketika kami semua mengunjungi lapas anak. Ia bicara dengan anak-anak disana. Dari hati ke hati. Seakan ingin menjadi pengadilan yang ingin mendengar semua beban yang menimpa mereka. Matanya menatap, penuh penerimaan. Ia seakan ingin menyudahi penyesalan anak-anak di dalam lapas. Air matanya tumpah, ketika ia mendengar alasan mereka sampai melakukan kesalahan yang tak patut untuk diulangi. Mereka bicara jujur kepada Ainun, karena tatapan matanya yang penuh perhatian. Anak-anak itu mengatakan kepada Ainun, “Kami kurang perhatian dari bapak ibu. Kami hidup di jalan. Penuh kebencian dari kaum yang lebih beruntung. Jeratan kemiskinan memaksa kami melakukan hal itu. Hal yang membuat kami takut bila mengingatnya kembali.”
Ainun menangis, seakan ia tak tega melihat balasan yang tak terkira dari perbuatan yang terpaksa mereka lakukan. Keadaan membuat mereka berbuat sesuatu yang merugikan orang lain untuk menyelamatkan kehidupan mereka. Inilah ku pertama kali melihat Ainun menangis.
Itulah pagi yang tak akan terlupakan.
Ainun kerap kali menangis ketika melihat suatu yang terasa tak adil. Dua momen itu merupakan sesuatu yang indah. Yang kerap kali merasuki malamku. Betapa tulusnya hati Ainun.
Aku juga pernah melihat mata Ainun bahagia. Suatu pagi, saat kami semua melakukan malam akrab dengan para anggota baru di organisasi kami. Saat itu ia duduk bersampingan dengan seorang laki-laki. Bercerita riang. Lagi-lagi mata itu menunjukkan betapa dirinya penuh dengan ketulusan. Dan pagi itu pun seakan berkata, aku tak sanggup lagi menatap.
Mataku menitikkan air mata. Ternyata pagi juga membawaku pada kecemburuan. Kini giliranku yang bersemubunyi. Menghilang dari keramaian. Menyimpan pagi dengan penuh luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar