Minggu, 15 Februari 2015

Pagi Untuk Siti

“Mak, kapan Bapak akan pulang?” Kembali Siti menanyakan ihwal kepulangan Bapaknya yang sudah hampir dua tahun meninggalkan kami berdua di sini. Aku tak lagi terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Hampir setiap pagi, anakku selalu menanyakan. Ada beban rindu yang berat hinggap dipundaknya. Aku tak ingin dia memikulnya sendiri. Ku peluk, ku usap kepalanya, ku cium keningnya. Tak ada air mata yang terjatuh. Semua harus berjalan semestinya.

“Berdoa saja, kelak semoga Bapakmu akan kembali.”

“Aku selalu berdoa, tapi Bapak tak kunjung kembali.”

“Habiskan saja sarapanmu, segeralah bergegas nanti sekolahmu terlambat.”

Begitulah percakapan kami setiap pagi. Setelah Siti mengerti akan kehadiran seorang Bapak. Seperti yang ia lihat dalam kesehariannya. Dirinya mulai merasakan perbedaan dengan yang lain. Bila ada Emak, maka akan ada seorang Bapak yang mendampinginya. Namun, yang ia alami kini berbeda. Hanya ada aku dalam kehidupannya. Menjadi keduanya dalam mengisi hari-harinya.

*

Mentari pagi semakin menghangatkan tubuh ini. Malam-malam yang semakin dingin semakin ku rasakan betapa kehilangannya aku dan Siti terhadap sosok Warman. Aku merindukannya, meski kelabu yang selalu ia berikan kepada kami berdua.
Seperti saat kepulangannya terakhir kali ke rumah ini. Dia dalam keadaan wajah yang terluka. Katanya, dia hanya terjatuh saat sedang kembali ke pangkalan setelah mengantarkan orang ke desa sebelah. Ku percaya dengan penuturannya saat itu. Dan saat itu pula dia meminta kepadaku untuk melayaninya. Penuh gairah. Tanpa sesentipun kulit kami berjarak. Saling menyatu. Sedangkan Siti berada di ruang depan menonton televisi. Ia tak mengerti arti kegairahan kedua orang tuanya di siang bolong tersebut. Ternyata itulah hari terakhir kali ku digaulinya. Dan terakhir kali dirinya memeluk Siti dengan penuh kehangatan. Dia pergi, tanpa rasa curiga yang ku alami.

Beberapa hari tak kembali membuatku cemas. Ku pinta adik ku menyakan perihal keadaannya di pangkalan ojek. Tak ada satupun dari teman-temannya yang menjawab. Pandangan mereka sinis seakan memang sudah saatnya suamiku untuk pergi dari desa yang telah menyatukan cinta kami berdua.

Seminggu setelahnya ku baru mengerti tentang pelariannya. Seorang lentenir datang ke rumah. Menanyakan Warman. Suara pintu digedor dengan keras saat aku sedang mengajari Siti pelajarang menghitung.

“Ia juragan, ada apa?” Tanyaku, setelah ku suruh masuk Siti ke dalam kamar.

“Lama sekali, apa sudah tuli kau?”

“Maaf juragan.”

“Mana suamimu, si bajingan Warman?”

“Maaf juragan, saya pun sedang mencarinya. Sudah satu minggu ia tak pulang.”

“Jangan bohong kamu?” bentaknya semakin keras. Ku takut Siti mendengarnya di dalam kamar. Anak sekecil dia tak boleh merasakan hal-hal seperti ini. Takut dia trauma.

“Betulan juragan, demi Allah.”

“Kalau dia pulang nanti, suruh temui ku atau rumah ini akan ku sita.” Lalu lentenir itupun pergi. Meninggalkan rasa ketakutan dalam sekujur tubuhku. Semoga saja, Siti tak mendengar percakapan kami berdua barusan. Ku takut dia merasakan sesuatu yang belum pantas untuk seusianya.

Malam itu ke merenung. Ku lihat di luar sana bintang bertaburan. Keindahan tersebut tak membuat ketakutanku berkurang. Malam masih panjang. Ku mulai mengerti kenapa suamiku tercinta kembali pergi meninggalkan kami berdua.

*

Sejak malam itu, kami berdua selalu didatangi oleh anak buah lintah darat tersebut. Menanyakan keberadaan suamiku, meneror kehidupanku, dan kadang pula melecehkan kesendirianku. Aku mencoba tegar akan semua itu, terutama dihadapan Siti. Ku tak mau ia bersedih hati akan semua hal yang dilakukan oleh Bapaknya tercinta.

Dua tahun sudah ku berjuang menghidupi Siti. Ku mencoba belajar membuat kerajinan tangan yang terbuat dari anyaman bambu. Ku buat kipas, bakul nasi dan semacamnya. Yang nanti hasilnya dijual oleh adikku yang juga berjualan sayuran di pasar. Lumayan, sekedar untuk memenuhi kehidupan kami berdua.

“Sudah ku bilang, kau ceraikan saja suamimu dari dahulu. Perangainya tidak pernah berubah, selalu saja menyusahkan kau dan anakmu.” Kata-kata itu kembali keluar dari Kang Hasbi, kakak pertamaku. Ia selalu memintaku untuk meninggalkan Warman. Tapi itu tak bisa, ku tak mau Siti tumbuh besar tanpa adanya seorang Bapak. Meski, itu harus terjadi. Kini Siti besar tanpa kehadiran Bapak yang ia sayangi.

“Dulu waktu kau sedang hamil, Warman selingkuh dengan janda kembang desa sebelah. Kamulah yang harus menanggung ulahnya tersebut. Si brengsek itu kabur, setelah berjanji akan menikahinya.” Aku sedikit sedih mendengar suamiki disebut “brengsek” oleh kakak iparnya sendiri. Namun Kang Hasbi tak mempedulikan hal tersebut. Ia melanjutkan kebenciannya kepada Warman. “Harta peninggalan Bapak habis terjual, untuk membayar ganti rugi yang diminta keluarga janda tersebut. Lalu setelah semuanya berlalu, Warman kembali lagi, entah malaikat apa yang merasukimu untuk memaafkannya.”

Aku saat itu memang memaafkannya. Dia menangis menyesali kesalahannya. Aku tak tega melihatnya. Apalagi, ku rasa Siti butuh kehadirannya. Untuk memiliki seorang Bapak. Ku tak mau dia tumbuh dengan pertanyaan, “Siapa bapak ku? Dan di mana ia sekarang?” Itulah yang membuatku luluh untuk memaafkan Warman saat itu.

*

Teror dari Juragan Endang semakin menjadi-jadi. Ia tak sabar agar hutang-hutang suamiku segera dilunasi. Dia memberikan dua pilihan, aku pergi dari rumah ini dan dia menyitanya, atau aku harus melayani nafsu birahinya sambil menunggu kepulangan Warman.

Aku menikah pada usia 19 tahun. Di tahun pertama perkawinan kami, aku dikaruniai seorang anak. Siti Hidayati pun lahir dari buah cinta bahagia kami. Namun saat ku sedang hamil, Warman selingkuh. Aku memaafkannya.
Kini Siti sudah berumur tujuh tahun. Beruntung usiaku masih muda saat dia sedang tumbuh besar. Tentu kondisi inilah yang menjadi pertimbangan lintah darat tersebut untuk memintaku melayaninya. Sebagai ganti rugi keterlambatan suamiku membayar hutang-hutangnya.

Warman sangat hobi bermain judi. Ia selalu meminjam uang kepada Juragan Endang untuk modal judinya. Kadang, ia pulang hanya membawa bau alkohol yang keluar dari aroma mulutnya. Hal itu selalu ku sembunyikan dari anakku dan juga saudara-saudaraku. Kepada Siti cara itu berhasil, namun kepada kakak dan adikku, tentu saja tidak. Mereka tau sendiri perangai suamiku di luar sana. Dan demi kebahagiaan Siti lah, kami mengalah memaklumi tabiat buruk Warman.

*

Saat ini ku menemukan cara. Ku minta kepada Kang Hasbi untuk mengadakan pertemuan dengan Pak RT dan Pak RW, Pak Usman selaku orang yang mengerti agama di desa kami, Pak Lurah sebagai pemangku kuasa tertinggi, keluargaku, dan juga Juragan Endang.

Ku sampaikan pada mereka rasa terima kasih yang teramat dalam karena telah hadir dalam pertemuan tersebut. Tak perlu panjang lebar, pada pertemuan yang diadakan di Masjid Ar-Rahman tersebut, aku langsung menyampaikan apa yang menjadi maksud undanganku malam itu. Diiringi suara Jangkrik yang seakan berirama menyanyikan lagu kemenangan, dan pertunjukkan keindahan Kunang-kunang yang terbang di pematang sawah seakan ku yakin, beban deritaku malam ini akan segera berakhir.

Ku katakan kepada mereka, saat suamiku Warman meminjam uang kepada Juragan Endang untuk modal main judi, tak ada perjanjian tertulis bahwa kelak aku dan kakak adikku yang akan menanggung hutang-hutang tersebut. Ku tanyakan hal itu kepada lentenir yang mukanya mulai memerah saat ku bicara akan hal tersebut. “Iya, tapi …” sebelum lintah darat tersebut melanjutkan jawabannya buru-buru ku hentikan.

Lalu ku bertanya kepada Pak Usman, “apabila suami sudah tidak memberikan nafkah baik lahir maupun batin selama lebih dari dua tahun apakah dia masih sah menjadi seorang suami?” “Tidak” jawab Pak Usman dengan enteng dan lugas.

“Saat ini saya sudah tidak menganggap lagi Warman sebagai suami saya. Ia telah lama menelantarkan saya dan juga Siti.” Ku coba membendung air mata yang ingin segera tumpah. Ku lihat Kang Hasbi kaget mendengar kalimat tersebut keluar dari mulutku. Sudah lama ia meminta ku meninggalkan Warman. Dan kini itupun terjadi.

Ku lanjutkan dengan keyakinan, “Rumah yang saat ini ku tempati adalah harta yang sah milikku. Itu warisan dari mendiang ibuku tercinta. Tak ada sejengkalpun tanah tersebut yang dimiliki oleh suamiku.” Ku sampaikan dengan mantap kepada mereka semua yang hadir. Ku tatap mata lintah darat tersebut secara dalam-dalam, menyakinkan dirinya bahwa aku tak gentar sekalipun menghadapi ancamannya. Mana mungkin ku mau menanggung kembali beban yang ditinggalkan oleh suami macam Warman tersebut, dan mana mungkin ku rela disetubuhi laki-laki macam Juragan Endang. Aku tak mau disentuh oleh dua lelaki tersebut. Kotor, penuh kepicikan. Dan yang terpenting, para perempuan manapun harus sudah berani melawan suami-suami yang tidak bertanggung jawab.

Akhirnya aku pun resmi bercerai dengan suamiku, dengan perjanjian hitam di atas putih yang ditanda tangani oleh orang-orang yang hadir di tempat yang suci. Hutang-hutang Warman pun tak lagi menjadi bebanku, Juragan Endang harus mencari sendiri keberadaan mantan suamiku tersebut jika hutangnya ingin segera dilunasi. Tak boleh sedikitpun mengganggu keluargaku, apalagi sampai menyentuh aku dan juga bidadari kecilku.

*

Hari-haripun berjalan dengan bahagia selanjutnya. Ku sampaikan kepada Siti, bahwa akulah kini yang menjadi Bapak sekaligus Ibunya. Dan tak perlu lagi ia menunggu setiap pagi akan kepulangan mantan suamiku tersebut.

Dari kejadian malam tersebut, tentang keberanianku menyelesaikan masalah dengan bicara lantang namun bijaksana, kini banyak ibu-ibu yang berdatangan ke rumah ku. Mereka datang menuturkan permasalahan keluarga mereka, dan memintaku untuk mencarikan solusinya. Sungguh ini adalah kesibukan ku selanjutnya. Tak lupa juga mereka ku ajarkan membuat kerajinan tangan, agar dapat menambah beban kehidupan keluarganya.

Kini ku bahagia, meski kadang harus bersembunyi meneteskan air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae