Senin, 02 Maret 2015

Mei Di Kaki Gede-Pangrango

“Kamu hati-hati di sana. Ibu sudah menghubungi Kakakmu agar menjagamu dengan baik.” Disela-sela ku mengemas pakaian dan memasukannya ke dalam tas Ibu tak hentinya menasihatiku. Anak gadisnya kini akan pergi meninggalkannya. Mencari kehidupan baru dan pengalaman baru. Malam itu ku lihat dirinya tak kuasa menahan air mata. Ia tak ingin lagi ditinggal oleh anaknya pergi merantau ke Ibu Kota. Namun, ia tak terlalu egois, ia meneguhkan dirinya untuk melepasku. “Kehidupan di Jakarta sangat keras. Kamu harus kuat menghadapinya. Jangan mudah percaya pada orang lain.” Saat mengucapkannya, ku lihat mata ibu sudah menangis, aku tak kuasa menatapnya. Ku coba melarikan diri, berpura-pura ingin membuang air kecil. Di kamar mandi, ku tumpahkan semua air mataku.

Bis Karunia Bakti berjalan lambat. Teriakan sang kernet terdengar jelas, “Rambutan-Rambutan” dan itulah kendaraan yang akan ku tumpangi hingga akhirnya membawaku tiba di Ibu Kota. Ku peluk ibu dengan penuh kasih sayang, air mata sempat menetes diantara kami berdua. Namun kami tetap menguatkan diri, agar tak terjebak pada kerinduan yang teramat besar pada hari nanti. “Yang nurut sama kakakmu.” Bisik ibu, pelan. Kelak suara itu yang akan ku rindukan.

Setelah beberapa menit berangkat dari depan pintu masuk Cibodas, kini aku berada di hamparan kebun teh yang hijau dan mempesona. Bus berjalan lambat, si sopir seakan berhati-hati menyusuri lika-liku jalan yang tak pernah lepas menampakkan keindahan alamnya. Sedangkan sang kernet sibuk sekali memperhatikan keadaan di pinggir jalan, memperhatikan orang-orang yang berdiri, meneriaki mereka dengan kata-kata yang selalu ku dengar dalam perjalanan pagi ini, “Rambutan-Rambutan”, terus sampai memasuki jalan tol Jagorawi. Sedangkan aku memilih untuk memandangi satu per satu sudut dari kawasan Puncak ini. Sudah hampir 18 tahun aku tak beranjak dari sini. Seakan hati tak kuasa untuk meninggalkannya.

Sejak jaman jajahan pemerintahan Belanda, kawasan Puncak merupakan sebuah tempat yang menjadi tujuan utama warga Jakarta untuk menikmati akhir pekan. Gustaaf Willem Baron van Imhoff merupakan orang pertama yang melakukan pembangunan di wilayah Bogor. Dahulu ia membangun dan menempati sebuah istana yang megah dan mewah yang kini disebut dengan Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Dari situlah ia memulai petualangan barunya untuk mengubah wilayah Bogor menjadi sebuah tempat yang asri untuk dihuni. Sampai pada abad ke-19 pemerintahan Belanda mulai membangun perkebunan teh yang sangat luas. Pemandangannya yang indah dan udaranya yang sejuk, membuat orang-orang dari jaman ke jaman selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke kawasan Puncak Bogor ini.

Ku coba pejamkan mata di saat pedagang minuman dan makanan ringan menawari dagangannya sepanjang jalan. Suaranya penuh harap, agar dagangannya terjual habis. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang tak mendapatkan kesempatan untuk mencari uang dari perkebunan teh. Hamparan kebun teh yang luas, tak membuat para penduduknya hidup nyaman dan sejahtera. Mereka selalu berada di bawah garis kemiskinan. Aku tak pernah tahu kenapa itu semua terjadi.

Ternyata aku tertidur pulas, kini bis sudah memasuki wilayah tol Jagorawi. Tol yang pertama kali dibangun oleh pemerintah Republik Indonesia. Jalan bebas hambatan yang menghubungkan Jakarta dan Kota Bogor ini menghabiskan biaya sekitar 350 juta rupiah pada tahun 1973. Pembangunan yang memakan waktu sekitar lima tahun, akhirnya pada 9 Maret 1978 Presiden Soeharto meresmikan jalan tersebut.

Setelah tersadar ternyata keadaan di dalam bis semakin sesak. Banyak orang berdiri diantara deretan bangku. Sang kernet dengan gesitnya meminta ongkos kepada penumpang. Satu per satu, tanpa ada yang terlewatkan sama sekali.

*

Jam sepuluh lewat duapuluh delapan menit. Bis telah memasuki terminal Kampung Rambutan. Hatiku campur aduk, antara bahagia dan sedih, kini ku mulai hidup dengan pengalaman baru, tinggal di Ibu Kota. Ku ambil handphone buatan Cina yang telah ku beli sewaktu sekolah dulu. Modelnya seperti handphone orang-orang kota, dengan keypad QWERTY dan memiliki kamera di tubuh belakangnya. “Teh aku udah di Kampung Rambutan?” Ku kirim pesan singkat kepada Teh Marni, kakak ku yang telah lebih dulu tinggal di Ibu Kota bersama suaminya.

Balasan yang ku tunggu tak juga datang. Ku menepi di sebuah warung kopi. Banyak pria yang memperhatikan keberadaanku. Aku teringat kata-kata orang di sana, “Hati-hati, di Jakarta banyak orang jahat.” Aku sedikit takut, namun perempuan pemilik warung tersebut menyakinkan ku, bahwa tidak semua orang di Ibu Kota ini memiliki niat jahat. “Gak usah takut, kita semua di sini orang baik meski hidup berada di bawah garis kemiskinan.” Ucapnya. Kami pun akhirnya ngobrol panjang lebar, namun aku yang lebih banyak ditanya oleh beliau. Katanya, dia sudah sering kali melihat orang seperti ku, orang daerah yang pertama kali datang ke Jakarta pasti akan selalu merawa was-was dan curiga.

“Kamu di mana?” Sebuah pesan masuk yang datangnya dari tetehku. Ku balasnya dengan cepat dan menjelaskan titik di mana aku berada. Tak lama kemudian ia datang bersama anak dan suaminya.

*

Sudah hampir dua bulan aku di sini. Aku beruntung, tak mengalami seperti yang orang-orang ceritakan kepada ku tentang Jakarta. Aku bersyukur, karena dalam waktu tersebut diriku sudah mendapatkan kerja, meski hanya menjadi SPG disalah satu mall di wilayah Pondok Gede. Di tempat kerjaku, aku memiliki teman-teman yang baik hati. Mereka mau menerima ku sebagai orang baru, dan mau membimbingku dalam menekuni pekerjaan ini.

“Itu Mei, coba kamu rapihkan pakaian-pakaian yang sudah diacak-acak oleh pengunjung.” Perintah salah satu seniorku. Resikonya memang seperti ini, aku kerap kali harus merapikan barang-barang yang sudah disentuh-sentuh oleh pengunjung namun tak jadi dibelinya. Demi menjaga kenyamanan calon pembeli yang akan datang.

Sepulang kerja, ibu selalu menelpon, menanyakan kabarku. Maklum saja, aku adalah anak perempuan terakhirnya. Dia mencemaskan keadaanku, takut aku kenapa-napa. Hari ini bertepatan dengan bulan Maulid, ibu malam ini cerita tentang warga yang berduyun-duyun ziarah ke makam Eyang Suryakencana di puncak Gunung Gede. Warga kampungku memang kerap kali berziarah ke sana, memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar alam selalu memberi mereka keberkahan dalam hidup ini. Kali ini ibu ikut dalam rombongan tersebut. Di tempat suci yang kami percayakan, ibu mengatakan kepada ku tentang permohonannya agar aku selalu diberikan keselamatan dan dijauhi dari orang-orang yang berniat jahat kepadaku. Mendengar hal itu, aku mengamininya dengan sepenuh hati. Kini ku rindu akan kampung halamanku.

*

“Kamu yakin dia orang baik?”
“Iya teh dia orang baik.”
“Belum genap setahun kamu di sini.”
“Sudah sebelas bulan teh, masa aku belum juga bisa menilai orang di sini.”
“Yasudah, mandi, makan dan solat.”

“Alhamdulillah kalu solat dan makan sudah. Dia yang mengingatkanku akan hal itu,” sambil tersenyum kecil ku sampaikan kepada teteh yang tak hentinya mengawasiku di sini. Dan hal itu kuanggap wajar, karena ibu yang memerintahkannya langsung. Aku bahagia bisa mendapatkan perhatian yang lebih dari dia, sudah ku anggap sebagai pengganti kehadiran ibu. Suaminya pun sangat menyayangiku. Sudah seperti adik sendiri ku dianggapnya. Dirinya tak mau aku dikecewakan oleh lelaki manapun.

Sudah hampir tiga bulan aku berpacaran dengan Wahyu. Selama itu pula aku menyembunyikan hubungan kami, takut orang-orang di rumah menanyakan hal tersebut. Namun, malam itu berbeda, aku mengijinkannya untuk mengantarku pulang ke rumah. Teteh dan suaminyapun melihat keberadaannya. Sudah ku duga, ia akan menanyakan keberadaannya. Namun aku tak mau sok bersikap dewasa, aku bersyukur si teteh masih memperhatikanku. Selalu menanyakan tentang kehidupanku. Aku menikmati itu.

*

Berada dalam lingkaran orang-orang yang tersayang adalah sebuah harmoni yang selalu ku nikmati. Ku jaga alunannya, agar tak ada suara-suara yang tak sesuai yang akan mengganggu alunan syahdunya. Wahyu, teteh dan suaminya adalah irama yang selalu ku nantikan. Kehadirannya ku tunggu, lalu ku persilahkan mereka bermain-main dalam duniaku. Kadang suara ibu pun datang menghampiri, mengingatkan agar aku selalu bersyukur dengan semua itu.
Tak semua yang orang-orang ceritakan kepada ku tentang Jakarta aku alami. Dan tak semua yang ku alami, orang-orang rasakan di Jakarta ini.

Bulan Desember telah tiba, bulannya Puspa berbunga dan berguguran. Semasa di kampung, setiap bulan ini aku selalu menikmati itu. Menikmati harum Puspa di Kandang Batu merupakan satu pesona yang luar biasa, sebelum sampai puncak Gunung Gede ataupun Gunung Pangrango. Kini aku mengajak Wahyu untuk ikut merasakan itu. Pengalaman ku yang tumbuh besar di sana, membuatku mampu membimbing kekasihku untuk mencapai Kandang Batu, menikmati harum Puspa.

Ku ceritakan kepada Wahyu, Ibu pernah bilang kepadaku, “Puspa adalah salah satu pohon keabadian. Dia tinggi besar dan usianya mampu mencapai ratusan tahun. Sayangnya, pohon ini berada dalam hutan nasional, sehingga bunganya tak bisa dijadikan penghasilan lain bagi penduduk di sekitar.”

Sepanjang jalan ku ceritakan apapun yang ada dikepalaku tentang masa kecilku dan juga tentang keanekaragaman tumbuhan dan hewan yang ada. Wahyu tampak ngos-ngosan selama pendakian. Namun urat wajahnya menunjukkan kebahagiaan. Kadang juga kami bergandengan tangan saat memasuki jalan yang terjal, sengaja ku menggenggam tangannya, ingin ku buat iri alam yang telah membesarkan ku ini. Kami berdua ingin menikmati Puspa, dan juga menemui Edelwise di Puncak Gunung Gede, kelak agar kesederhanaan cinta kami abadi seperti pohon dan bunga tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae