Rabu, 28 Desember 2011
media saat ini (mati)
Perkembangan media saat ini sudah cukup signifikan. Apalagi setelah tumbangnya rezim orde baru. Televise, radio dan media cetak jangan di tanyakan lagi jumlahnya. Begitu banyaknya sumber informasi yang bisa di dapat oleh masyarakat pada masa kini. Negeri kita sedang demam menciptakan media. Banyak pengusaha kini merambah ke industry media. Media menurut saya pribadi merupakan ruang di mana kita bisa mendapatkan kebebasan, menyampaikan aspirasi dan juga ruang kegelisahan terhadap pemerintah. Tetapi di dalam kebebasan kita itu masih terdapat hak-hak orang lain yang harus kita patuhi. Kita harus bisa menampilkan tayangan-tayangan yang mampu merusak moral anak-anak kecil. Jangan tampilkan tayangan-tayangan yang berbau seksual, kekerasan, dan yang berbau rasis. Hal-hal tersebut saya tekankan pada televise karena hampir dari 60% penduduk Indonesia adalah penikmat televise. Sedangkan di media cetak hanya sekitar 40% pembaca. Ini karena kurangnya budaya baca yang melanda masyarakat kita. Lagipula control di media catak saya rasa lebih ketat di bandingkan di media elektronik. Yang menjadi konsen saya dalam tulisan ini adalah bagaimana dunia pertelevisian di kita itu sudah mati. Kenapa saya anggap sudah mati, jika dilihat dari nilai demokrasinya sudah tidak ada. Control terhadap pemerintahlah yang sudah sedikit agak renggang. Stasiun televise kita sudah terlalu banyak menampilkan hiburan-hiburan yang terbilang sudah melewati batas. Lawakan-lawakan, sinetron, reality show, prime time dan ajang pencari bakat sudah hampir memenuhi acara-acara yang disajikan stasiun televise kita. Lawakan yang sudah terlalu kebablasan, terkadang menampilkan pelecehan, menampilkan orang yang sedang merokok dan mabuk-mabukkan yang notabennya di larang oleh komisi siaran di kita. Terkadang hal-hal tersebutlah yang lepas dari pengawasan kita. Terlalu bahaya bagi kondisi psikologis anak-anak kita. Dilema memang ketika kita mengkritik tayangan-tayangan tersebut, karena sudah manjadi konsumsi yang menarik bagi para penonton kita. Ketika dua raksasa pertelevisian kita yang tergabung kedalam corporation tersebut selalu menayangkan hal-hal di atas. Karena telah dianggap menjadi hiburan oleh para kaum menengah ke atas dan kaum menengah ke bawah di antara kepenatan mereka terhadap kerasnya dunia. Yang perlu menjadi perhatian adalah ruang kebebasan di media saudah terlalu jauh. Banyak yang terlupakan tentang sejatinya kebebasan itu lahir. Bukan hanya untuk menampilkan hiburan saja melainkan untuk control terhadap pemerintahan. Ruang control terhadap pemerintahlah yang memang sudah agak sedikit terlupakan di stasiun televise kita. Hanya ada dua satasiun tv yang setia mengontrol pemerintah, TvOne dan MetroTv ini pun kedua pemiliknya memiliki agenda di tahun 2014 untuk maju menjadi RI1. Tentunya dari banyaknya hiburan yang disajikan membuat kita semakin lupa bahwa kondisi Negara kita sudah tidak begitu baik. Perekonomian yang tidak simbang, korupsi yang terus merajarela, hukum yang semakin tebang pilih. Jika memang ini sudah terlupakan oleh kita maka akan semakin tenang kekuasaan yang di jabat oleh SBY. Mungkin ini memang sengaja terjadi, ada kesepakatan lain di balik semakin lepasnya control terhadap pemerintah yang disajikan oleh media pertelevisian. “Semakin sedikit anda menyangkan berita tentang kondisi negeri ini, semakin leluasa anda lepas dari control kami.”
Minggu, 11 Desember 2011
SIKAP DARI SEBUAH KEYAKINAN
Akhir pekan kemarin kita terkagetkan oleh sebuah perjuangan mahasiswa Universitas Bung karno yang bernama Sondang Hutagalung. Pada hari korupsi sedunia beliau melakukan aksi bakar diri di depan istana Negara. Perjuangan yang begitu total dari seorang mahasiswa ini merupakan warning untuk pemerintahan SBY dan Boediono untuk segera melakukan perbaikan atau mengungdurkan diri dari jabatannya.
SBY dan Boediono sudah diperingatkan oleh almarhum. Dalam pemerintahan periode ke dua SBY ini memang begitu banyak masalah yang menimbulkan keraguan pada diri kita terhadap kepemimpinan SBY. Kasus Century yang tidak kunjung jelas penyelesaiannya, kasus suap wisma atlet kader Partai Demokrat Muhammad Nazzaruddin yang diduga melibatkan kader PD lainnya seperti Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum sampai ke Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malaranggeng, belum lagu masalah suap di Kemenakertrans yang diduga melibatkan Muhaimin Iskandar. Begitu banyak masalah yang tidak mampu ditemukan titik terangnya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Negara kita terkesan tidak memiliki Presiden, yang ada hanya seorang penguasa yang sedang sibuk untuk mempertahankan kekuasaannya di 2014 dan menyelamatkan kader-kadernya yang terduga korupsi agar tidak tersentuh hokum. Ini merupakan rapor yang sangat merah untuk diperbaiki oleh yang sebagian orang menyebutnya sebagai Presiden itu.
Wajarlah dari sekian banyaknya masalah-masalah yang tidak mampu terselesaikan oleh kepemimpinan SBY menimbulkan aksi-aksi demonstrasi dari masyarakat tanah air dan dari kalangan mahasiswa. Ketika kasus century mulai menguak kepermukaan pernah pendemo menyamakan SBY dengan “kerbau”. Tapi sayangnya dari SBY dan para orang-orang sekitarnya menafsirkan aksi tersebut sabagai penghinaan terhadap presiden.
Perjuangan dan Pesan “Sondang” Kepada Kita
Di hari peringatan anti korupsi se dunia aksi Sondang Hutagalung mencapai puncaknya. Dari sekian banyak rapor merah SBY dalam memberantas korupsi di negeri ini, Sondang melakukan perjuangan untuk melawan kelemahan SBY dalam memberantas korupsi dangan membakarkan diri di depan istana. Cambuk yang sangat keras telah dihempaskan oleh Sondang ke wajah SBY. Peringatan yang harus menjadi instropeksi diri bagi kepemimpinan SBY. Semoga perjuangan Sondang ini tidak ditafsirkan oleh banyak orang apalagi oleh SBY sebagai sebuah kegilaan dan keputus asaan.
Keyakinan dan sikap, disitulah kita melakukan perlawanan terhadap para pengkhianat bangsa. Tidak bisa kita menyalahkan sikap dari seseorang dalam melakukan perlawanan, karena itu adalah keyakinannya yang tidak bisa kita batasi. Penilaian dari banyak pihak mengenai Alm. Sondang bahwa ia sudah gila atau putus asa itu mungkin yang disebut dengan "rational bertujuan". Mengapa dibilang seperti itu, agar dapat meredam bagi mereka yang menyakini bahwa perlawanan terhadap rezim SBY.
Buka nurani mu wahai Bapak Presiden. Ini bukan kegilaan atau keputus asaan, ini merupakan awal dari para pejuang untuk selalu mengontrol dari apa yang bapak pimpin. Seharusnya tidak ada lagi “sondang-sondang” di kemudian hari. Kau SBY seperti pemimpin yang “buta”, tidak melihat banyak tangis kelaparan di seluruh pelosok bangsa. Kau “tuli”, tidak mau mendengar keluhan anak bangsa. Kau “tak bernyali”, melawan koruptor-koruptor bangsa. Kau seperti “penipu”, banyak kasus-kasus korupsi yang kau pelintirkan demi kelangsungan kekuasaanmu di kemudian hari. Dengarkanlah kami, yang menuntut perbaikan bangsa. Saudara Sondang telah mengibarkan bendera perlawanan terhadap kekuasaanmu.
"maaf apabila ada salah-salah kata"
Jumat, 09 Desember 2011
Perbedaan Tim Gratisan Ala IPL dan ISL
Kini kompetisi sepak bola di tanah air kembali memasuki ke titik nadir terendah. Begitu besarnya kepentingan di dalam tubuh PSSI menimbulkan kembali permasalahan baru. Seperti terjadi sebelumnya, di saat era Nurdin Halid masih memimpin dan Arifin Panigoro ingin meruntuhkan kekuasaannya di saat itu muncul liga tandingan yang di dirikan oleh Arifin yaitu LPI (Liga Primer Indonesia). Peserta liga ini adalah klub-klub baru yang berdiri karena adanya dana dari Arifin. Di tambah 3 klub yang membelot dari liganya Nurdin Halid, yaitu Persema Malang, PSM Makassar dan Persibo Bojonegoro. Dan sekarang setelah era Nurdin turun, dan Arifin Paniogoro melalui Djohar Arifin menguasai PSSI yang memutuskan liga Indonesia di ikuti oleh 24 klub, 18 klub berasal dari ISL, 3 klub yang pernah membelot dari liganya Nurdin yaitu PSM, Persema, dan Persibo, ditambah lagi PSMS Medan dan Peresbaya Surabaya yang menurut Djohar Arifin memiliki sejarah panjang dalam sepak bola tanah air, dan Bontang FC sebagai klub degradasi terbaik. Jadilah liga Indonesia diikuti oleh 24 klub dari seluruh penjuru tanah air. Tentunya keputusan tersebut mendapat pertentangan dari para peserta ISL sebelumnya. Menurut mereka tidak ada alasan apapun yang tepat untuk memasukkan kembali keenam klub tersebut kedalam liga tertinggi di tanah air kita. PSM, Persema, dan Persibo yang membelot ke LPI pada masa Nurdin telah dierikan sanksi oleh PSSI. Persema dan Persibo dicabut keanggotaanya dalam PSSI, dan PSM di turunkan ke divisi utama karena pada saat kongres PSSI berlangsung PSM belum melakukan pertangdingan di LPI. PSMS Medan dan Persebaya Surabaya mereka merupakan peserta divisi utama yang tidak lolos promosi untuk mengikuti ISL tahun ini. Dan bagaimana mungkin Bontang FC yang sudah kalah berkompetisi di ISL tahun kemarin diangkat kembali ke dalam ISL. Ini merupakan penurunan kualitas yang lebih parah yang dilakukan pengurus PSSI di era Djohar Arifin. Mereka yang tidak setuju dengan keputusan PSSI, membuat liga baru yang menurut mereka sesuai dengan keputusan kongres Bali yang menyatakan bahwa peserta liga hanya diikuti oleh 18 (delapan belas) klub dan dipimpin oleh PT. Liga Indonesia. Pokok Permasalahan Setelah terpecahnya kembali liga sepak bola di Indonesia menjadi 2 kubu, yaitu IPL dan ISL muncul pertanyaan kepada peserta ISL yang menolak kehadiran 6 klub diatas yang dianggap sebagai klub gratisan untuk mengikuti liga tertinggi di tanah air! Bahwa di liganya yang dibuat sekarang ini juga terdapat klub-klub gratisan? Mereka yang berada di pihak Djohar pun mungkin menanyakan persamaan yang sama dengan yang saya alami. PSAP Sigli, Persiram Raja Ampat, Gresik United dan PSMS Medan di ikutkan kedalam liga mereka. Ini hampir menjilat kembali ludah yang sudah dibuang bagi mereka yang menolak kehadiran 6 klub yan digratiskan oleh PSSI untuk mengikuti kompetisi tertinggi sepak bola tanah air. PSAP Sigli, Persiram Raja Ampat, Gresik United dan PSMS Medan memang dianggap layak untuk mengikuti liga yang dibentuk oleh para pembelot terhadap PSSI. Mereka dianggap layak masuk liga karena keempat klub diatas berhasil mengakhiri divisi utama dengan masuk kedalam babak delapan besar. Posisi mereka menggantikan Persijap Jepara, Semen Padang, Persiba Bantul dan Persiraja Banda Aceh yang lebih memilih bergabung dengan IPL. Tentunya konteksnya berbeda dengan keenam klub yang dimasukkan oleh PSSI diatas. Keempat klub ini memang berada diposisi akhir sebagai klub terbaik yang mengikuti kompetisi divisi utama, mereka bukan klub yang serta merta lolos ke kompetisi tertinggi sepak bola tanah air yang hanya karena memiliki sejarah panjang dan klub terbaik degradasi. Tentunya apa yang diputuskan PSSI terkait menggratiskan 6 klub diatas melukai nilai kompetisi yang telah berlangsung panjang bagia para peserta divisi utama.
Kamis, 08 Desember 2011
sepak bola dan politik
Kebanggaan masyarakat mulai tumbuh kembali kepada sepak bola tanah air. Setalah tim senior terseok-seok di babak kualifikasi piala dunia 2014 dan sudah dapat dipastikan tidak akan lolos ke putaran selanjutnya kini anak-anak asuh Rahmad Darmawan di tim nasional U-23 menorehkan permainan luar biasa pada gelaran Sea Games yang ke 26 ini. Permainan Egi Malgiansyah dan kawan-kawan di ajang ini mampu membuat para pecinta sepak bola kembali lagi mendatangi stadion kebanggan Gelora Bung Karno. Walau bukan level asia, tetapi apa yang ditampilkan oleh mereka menunjukkan betapa ada harapannya untuk tersenyum manis bagi para pecinta sepak bola yang menyaksikannya. Timnas sepak bola Sea Games kita berhasil masuk final walaupun tidak berhasil menjadi juara. Tapi ini pun sudah membangkitkan kembali harapan pecinta sepak bola negeri kita untuk bermimpi meraih prestasi di tahun-tahun berikutnya.
Sebenarnya kebanggaan seperti ini pernah muncul ketika gelaran Piala AFF pada awal tahun ini. Alfred Riedl yang waktu itu memimpin Tim Nasional senior mampu masuk hingga babak final sebelum dikalahkan oleh Malaysia. Ya, memang lawan-lawan yang dihadapi oleh Tim Garuda tidak setangguh di babak kualifikasi piala dunia 2014. Qatar, Iran, Bahrain memang jauh kualitasnya jika dibandingkan dengan Negara-negara Asia Tenggara. Namun kekompakkan tim, permainan kolektif, hubungan yang harmonis antara pemain dan pelatih, semangat juang pemain di Piala AFF lalu jelas jauh lebih baik dibandingkan dengan babak kualifikasi piala dunia ini. Penonton hadir ke stadion bukan semata ingin melihat Timnas menaklukkan Qatar, Iran dan Bahrain. Penonton puas jika apa yang di perjuangkan oleh pemain di dalam lapangan begitu optimal seperti yang dilakukan Timnas di Piala AFF lalu.
Kini apa yang dinantikan kembali oleh para pecinta sepak bola tanah air dibayar dengan menyakinkan oleh para Garuda Muda di gelaran Sea Games ini. Kompak di dalam dan di luar lapangan, permainan kolektif yang cukup bagus, hubungan yang harmonis antara pelatih dan pemain, di sajikan dengan sempurna oleh para Garuda Muda kita.
Ini mampu menghilangkan sejenak bagaimana kepemimpinan Djohar Arifin yang dapat dikatan minus di PSSI. Pecinta sepak bola mungkin pada saat ini akan sedikit melupakannya, namun jangan sampai terlena sampai gelaran ini usai. Control yang harus terus dilakukan oleh kita sebagai pecinta sepak bola tentunya harus terus dilanjutkan.
Kontroversi PSSI setelah Era Nurdin Halid Lengser
Setelah sekian lama sepak bola kita dipimpin oleh Nurdin Halid yang dapat dikatakan gagal dan begitu banyak polemic di dalamnya, kini muncul nama Djohar Arifin sebagai penggantinya. Hal ini sungguh dinantikan oelh para pecinta sepak bola tanah air, semoga setelah era Nurdin sepak bola kita menemukan kembali prestasi-prestasi di pentas internasional, pembinaan pemain muda yang kompeten, liga yang dijalankan professional dan lepasnya sepak bola dari kepentingan partai politik semata. K-78, kelompok penentang Nurdin yang menuntut diadakannya Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menurunkan Nurdin dan para kawanannya. Kongres berhasil dilakukan, dan pemilihan ketua umum baru pun digulirkan. Namun nama-nama seperti Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta tidak boleh disertakan oleh FIFA. Muncullah calon-calon baru, Djohar Ariifin pun terpilih malalui dukungan yang diberikan oleh K-78.
Harapan dan perubahan baru mulai ada, namun tidak bertahan lama. Mulai dari pemecatan controversial Alfred Riedl sebagai pelatih Tim Nasional dan Wolfgamg Pikal sebagai assistennya. PSSI pada waktu itu menganggap kontrak Riedl dan Pikal hanya terikat kepada Nirwan Bakrie saja tanpa ada kaitannya dengan PSSI. Riedl pun mengadukan polemic ini ke FIFA karena merasa dirinya dikontrak oleh PSSI bukan oleh Nirwan Bakrie, lagipula setelah seminggu pemecatan Riedl tidak kunjung menerima kompensasi yang harus diberikan oleh PSSI.
Belum lagi masalah pengaturan liga yang akan dijalankan oleh PSSI pada musim depan. Bermula dari memutuskan peserta liga diikuti oleh 36 klub dan dibagi menjadi 2 wilayah, lalu diputuskan kembali liga hanya diikuti oleh 18 klub, lalu berubah lagi menjadi 24 klub. 18 klub berasal dari klub yang musim lalu mengikuti Liga Super ditambah klub yang baru promosi dari divisi utama, dan 6 klub yang ditunjuk secara langsung oleh PSSI dengan berbagai alasan yang diajukan. Keputusan yang berubah-ubah tersebut sungguh membuat liga semakin tidak jelas bagaimana berjalannya musim depan. Hal ini pun membuat para klub-klub yang tidak setuju bergulirnya liga dengan 24 klub membuat liga lagi yang dianggap sesuai dengan statute yang telah diputuskan PSSI di Bali. Berdasrkan hasil kongres di Bali, di dalam statute tersebut, liga yang sah adalah liga yang dijalankan oleh PT. Liga Indonesia dan diikuti dengan 18 klub.
Dari sebagian kecil permasalahan diatas, tidak mungkin pelatih sekelas Alfred Riedl melakukan kontrak hanya sebatas dengan pribadi seorang saja tidak dengan PSSI. Terkait dengan keputusan PSSI yang memutuskan liga diikuti oleh 24 klub ini menimbulkan tanda Tanya besar kepada PSSI. Bagaimana tidak, liga ditambah oleh 6 klub yang tidak berhak mengikuti liga. Tanpa mengikuti kompetisi yang sah mereka langsung di sertakan ke level tertinggi sepak bola kita. Ini menodai spotifitas.
Kritik untuk K-78
Setelah runtuhnya dinasti Nurdin Halid di PSSI, kini berganti kepengurusan yang tidak jauh berbeda dengan kualitas dari nurdin Halid. Beitu banyak keputusan yang controversial yang dilakukan oleh pengurus sekarang. Lalu bagaimana peran K-78 yang begitu ngotot ingin menurunkan Nurdin pada waktu itu?. Sikap mereka terhadap masalah ini seperti apa?
Kelompok 78 terpecah menyikapi apa yang dilakukakn ketua PSSI saat ini. Sehingga mereka membentuk kelompok baru dan membuat sebuah kompetisi yang mereka anggap sah menurut kongres yang pernah dilakukan di Bali. Liga Super kembali mereka bentuk dan PT Liga Indonesia sebagai administatornya. Kompetisi ini terdiri dari klub-klub yang tidak setuju dengan komeptisi yang akan dimainkan 24 klub. Untuk yang ada di dalam kelompok ini mereka berani melawan penyakit-penyakit baru yang muncul di PSSI setelah turunnya Nurdin dari titah kekuasaan. Sebagian yang lain dari Kelompok 78 menyetjui apa yang di lakukan oleh pengurus PSSI saat ini.
Seperti kata Hannah Arend, filsuf kelahiran Jerman, “Mereka yang paling radikal mendukung revolusi akan menjadi kelompok paling konservatif, sehari setelah revolusi terjadi.” Ini terjadi kepada sebagian besar anggota Kelompok 78 yang waktu itu begitu ngotot untuk menurunkan Nurdin Halid. Mereka diam saja, melihat begitu banyak permasalahan-permasalahan baru yang di buat oleh pengurus PSSI saat ini.
Kini sudah saatnya supporter-suporter sepak bola tanah air melakukan pendekatan untuk memikirkan bagaimana sepak bola Indonesia tidak lagi menjadi alat untuk meraih keuntungan semata kelompok-kelompok tertentu. Lawanlah mereka, dengan kecintaan kalian terhadap sepak bola. Mungkin sudah saatnya seluruh insane yang memang mengaku cinta terhadap sepak bola tanah air menunjukkan jati dirinya dengan cara melakukan sebuah diskusi besar untuk melahirkan sebuah keputusan bahwasanya PSSI saat ini sudah tidak benar dan harus diganti kembali.
Sebenarnya kebanggaan seperti ini pernah muncul ketika gelaran Piala AFF pada awal tahun ini. Alfred Riedl yang waktu itu memimpin Tim Nasional senior mampu masuk hingga babak final sebelum dikalahkan oleh Malaysia. Ya, memang lawan-lawan yang dihadapi oleh Tim Garuda tidak setangguh di babak kualifikasi piala dunia 2014. Qatar, Iran, Bahrain memang jauh kualitasnya jika dibandingkan dengan Negara-negara Asia Tenggara. Namun kekompakkan tim, permainan kolektif, hubungan yang harmonis antara pemain dan pelatih, semangat juang pemain di Piala AFF lalu jelas jauh lebih baik dibandingkan dengan babak kualifikasi piala dunia ini. Penonton hadir ke stadion bukan semata ingin melihat Timnas menaklukkan Qatar, Iran dan Bahrain. Penonton puas jika apa yang di perjuangkan oleh pemain di dalam lapangan begitu optimal seperti yang dilakukan Timnas di Piala AFF lalu.
Kini apa yang dinantikan kembali oleh para pecinta sepak bola tanah air dibayar dengan menyakinkan oleh para Garuda Muda di gelaran Sea Games ini. Kompak di dalam dan di luar lapangan, permainan kolektif yang cukup bagus, hubungan yang harmonis antara pelatih dan pemain, di sajikan dengan sempurna oleh para Garuda Muda kita.
Ini mampu menghilangkan sejenak bagaimana kepemimpinan Djohar Arifin yang dapat dikatan minus di PSSI. Pecinta sepak bola mungkin pada saat ini akan sedikit melupakannya, namun jangan sampai terlena sampai gelaran ini usai. Control yang harus terus dilakukan oleh kita sebagai pecinta sepak bola tentunya harus terus dilanjutkan.
Kontroversi PSSI setelah Era Nurdin Halid Lengser
Setelah sekian lama sepak bola kita dipimpin oleh Nurdin Halid yang dapat dikatakan gagal dan begitu banyak polemic di dalamnya, kini muncul nama Djohar Arifin sebagai penggantinya. Hal ini sungguh dinantikan oelh para pecinta sepak bola tanah air, semoga setelah era Nurdin sepak bola kita menemukan kembali prestasi-prestasi di pentas internasional, pembinaan pemain muda yang kompeten, liga yang dijalankan professional dan lepasnya sepak bola dari kepentingan partai politik semata. K-78, kelompok penentang Nurdin yang menuntut diadakannya Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menurunkan Nurdin dan para kawanannya. Kongres berhasil dilakukan, dan pemilihan ketua umum baru pun digulirkan. Namun nama-nama seperti Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta tidak boleh disertakan oleh FIFA. Muncullah calon-calon baru, Djohar Ariifin pun terpilih malalui dukungan yang diberikan oleh K-78.
Harapan dan perubahan baru mulai ada, namun tidak bertahan lama. Mulai dari pemecatan controversial Alfred Riedl sebagai pelatih Tim Nasional dan Wolfgamg Pikal sebagai assistennya. PSSI pada waktu itu menganggap kontrak Riedl dan Pikal hanya terikat kepada Nirwan Bakrie saja tanpa ada kaitannya dengan PSSI. Riedl pun mengadukan polemic ini ke FIFA karena merasa dirinya dikontrak oleh PSSI bukan oleh Nirwan Bakrie, lagipula setelah seminggu pemecatan Riedl tidak kunjung menerima kompensasi yang harus diberikan oleh PSSI.
Belum lagi masalah pengaturan liga yang akan dijalankan oleh PSSI pada musim depan. Bermula dari memutuskan peserta liga diikuti oleh 36 klub dan dibagi menjadi 2 wilayah, lalu diputuskan kembali liga hanya diikuti oleh 18 klub, lalu berubah lagi menjadi 24 klub. 18 klub berasal dari klub yang musim lalu mengikuti Liga Super ditambah klub yang baru promosi dari divisi utama, dan 6 klub yang ditunjuk secara langsung oleh PSSI dengan berbagai alasan yang diajukan. Keputusan yang berubah-ubah tersebut sungguh membuat liga semakin tidak jelas bagaimana berjalannya musim depan. Hal ini pun membuat para klub-klub yang tidak setuju bergulirnya liga dengan 24 klub membuat liga lagi yang dianggap sesuai dengan statute yang telah diputuskan PSSI di Bali. Berdasrkan hasil kongres di Bali, di dalam statute tersebut, liga yang sah adalah liga yang dijalankan oleh PT. Liga Indonesia dan diikuti dengan 18 klub.
Dari sebagian kecil permasalahan diatas, tidak mungkin pelatih sekelas Alfred Riedl melakukan kontrak hanya sebatas dengan pribadi seorang saja tidak dengan PSSI. Terkait dengan keputusan PSSI yang memutuskan liga diikuti oleh 24 klub ini menimbulkan tanda Tanya besar kepada PSSI. Bagaimana tidak, liga ditambah oleh 6 klub yang tidak berhak mengikuti liga. Tanpa mengikuti kompetisi yang sah mereka langsung di sertakan ke level tertinggi sepak bola kita. Ini menodai spotifitas.
Kritik untuk K-78
Setelah runtuhnya dinasti Nurdin Halid di PSSI, kini berganti kepengurusan yang tidak jauh berbeda dengan kualitas dari nurdin Halid. Beitu banyak keputusan yang controversial yang dilakukan oleh pengurus sekarang. Lalu bagaimana peran K-78 yang begitu ngotot ingin menurunkan Nurdin pada waktu itu?. Sikap mereka terhadap masalah ini seperti apa?
Kelompok 78 terpecah menyikapi apa yang dilakukakn ketua PSSI saat ini. Sehingga mereka membentuk kelompok baru dan membuat sebuah kompetisi yang mereka anggap sah menurut kongres yang pernah dilakukan di Bali. Liga Super kembali mereka bentuk dan PT Liga Indonesia sebagai administatornya. Kompetisi ini terdiri dari klub-klub yang tidak setuju dengan komeptisi yang akan dimainkan 24 klub. Untuk yang ada di dalam kelompok ini mereka berani melawan penyakit-penyakit baru yang muncul di PSSI setelah turunnya Nurdin dari titah kekuasaan. Sebagian yang lain dari Kelompok 78 menyetjui apa yang di lakukan oleh pengurus PSSI saat ini.
Seperti kata Hannah Arend, filsuf kelahiran Jerman, “Mereka yang paling radikal mendukung revolusi akan menjadi kelompok paling konservatif, sehari setelah revolusi terjadi.” Ini terjadi kepada sebagian besar anggota Kelompok 78 yang waktu itu begitu ngotot untuk menurunkan Nurdin Halid. Mereka diam saja, melihat begitu banyak permasalahan-permasalahan baru yang di buat oleh pengurus PSSI saat ini.
Kini sudah saatnya supporter-suporter sepak bola tanah air melakukan pendekatan untuk memikirkan bagaimana sepak bola Indonesia tidak lagi menjadi alat untuk meraih keuntungan semata kelompok-kelompok tertentu. Lawanlah mereka, dengan kecintaan kalian terhadap sepak bola. Mungkin sudah saatnya seluruh insane yang memang mengaku cinta terhadap sepak bola tanah air menunjukkan jati dirinya dengan cara melakukan sebuah diskusi besar untuk melahirkan sebuah keputusan bahwasanya PSSI saat ini sudah tidak benar dan harus diganti kembali.
Jumat, 02 Desember 2011
Suap, Korupsi, dan Kampanye dalam Lingkaran Partai Politik Ahmad Fauzi Mahasiswa UIN Jakarta
Mungkin kita terlalu sering mendengar kata suap, korupsi dan kampanye pada era reformasi ini. Kehidupan kita selalu disesaki oleh ketiga kata ini. Suap sering kali kita melihat atau membaca berita di media massa yang melibatkan pejabat negeri ini. Korupsi, siapa yang tidak pernah mendengar kata ini. Setiap harinya selalu ada pejabat pemerintahan baik di daerah maupun di pusat yang ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kampanye, di era demokrasi seperti saat ini begitu sering kita mendengar kata kampanye. Lalu apa kaitannya ketiga kata tersebut dengan partai politik?
Suap, secara logika awam saja kita dapat memahami arti dari suap. Dari sudut logika awam suap adalah pemberian “sesuatu” dari pihak yang merasa diuntungkan oleh kebijakan yang dibuat oleh pihak lain. Secara Istilah (kamus Bahasa Indonesia) adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan. Tentunya pemberian ini bukan dari seorang sebut sajalah seorang majikan yang memberikan kepada pembantunya. Pemberian ini diterima dari pihak luar. Contohnya, kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.
Korupsi, sudah menjadi musuh besar bangsa ini sejak dahulu. Korupsi merupakan ancaman besar bagi pembangunan bangsa yang merata, adil dan makmur. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dapat membunuh rakyat miskin secara perlahan. Ironisnya korupsi tidak pernah hilang dari muka bumi pertiwi ini. Selalu aja muncul bagaikan rumput liar.
Kampanye mengutip dari bahan kuliah yang diberikan oleh Gun Gun Heryanto, menurut Roger dan Storey (communication campaign) kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Kampanye pada Negara yang cukup luas seperti bangsa Indonesia ini tentunya tidak cukup hanya menggunakan biaya yang sedikit. Maka dari itu setiap partai politik harus mempunyai dana yang kuat untuk mengikuti pemilu.
Keadaaan
Memang ini bukan sebuah fenomena baru lagi. Suap yang diterima oleh para keder partai politik sering kali terjadi. Bukan ingin berasumsi bahwa hasil suap tersebut untuk membiayai kampanye parpol, tetapi hanya ingin melihat fenomena tersebut sering terjadi. Kita lihat saja anggota komisi IX DPR periode 1999-2004. Dalam pemilihan deputi gubernur senior BI, Miranda Gultom memberikan aliran dana sebesar Rp 9M. Dalam kasus suap ini melibatkan 19 nama anggota komisi IX DPR yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Aliran itu masuk ke rekening anngota DPR tersebut kisaran dari Rp 200 juta- 500 juta. Hanya ada 1 orang yang menerima lebih dari Rp 1M.
Sehabis pemilu 2009, muncul kasus dugaan penyalahgunaan dana bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 T. Kasus ini melibatkan Wakil Presiden terpilih Budiono dan Sri Mulyani yang waktu itu menjabat sebagai menteri keuangan. Hal yang paling buruk dalam kasus ini ialah dugaan bahwa uang tersebut mengalir ke dalam Partai Demokrat.
Belum lama ini ada lagi kasus suap yang melibatkan anggota partai dalam dana pembangunan wisma atlet untuk Sea Games yang akan segera diselenggarakan. Lebih menonjol, dalam kasus ini melibatkan bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin. Dalam kasus ini M Nazaruddin tidak mau hanya dijadikan tumbal oleh partainya, lalu dia “bernyanyi” kepada media bahwa bukan hanya dia saja yang menikmati hasil korupsi dana tersebut. I Wayan Koster dan Angelina Sondakh ikut terseret dalam pengakuan Nazaruddi.
Korupsi yang melibatkan para anggota DPR ini tentunya sangat merisaukan. Hal ini memunculkan kecurigaan pada diri kita ada apa dibalik kejadian tersebut. Biasanya hal-hal seperti diatas sering kali terjadi kepada mereka yang memiliki akses kekeuasaan. Biasanya korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki akses kekuasaan akan lama terungkapnya. Biasanya dalam hal ini KPK, Mahkama Agung (MA), Kejaksaan dan Kepolisian terjebak dalam pola obstruction of justice atau pengadilan dan pertanggungjawaban pidana hanya orang-orang korup tetapi tak berkuasa.
Mungkinkah hasil korupsi tersebut digunakan untuk membiayai kampanye partai politiknya. Hal ini sulit dibuktikan, karena BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) selaku badan yang berdiri untuk memeriksa keungan tidak bisa masuk keranah dana kampanye. Hal ini menyebabkan BPK tidak bisa mengawasi dan mengontrol dana kampanye partai politik. BPK hanya berwenang mengawsi dan mengontrol penggunaan serta pengelolaan keuangan Negara. Terlebih lagi, pada pemilu 2009 lalu, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) mengaku kesulitan untuk masuk kedalam partai politik untuk melihat penerimaan dan penggunaan dana kampanye.
Memang dalam menghadapi pemilu, banyak partai berlomba-lomba untuk mencari dana kampanye ke pihak-pihak yang ingin memberinya. Dilema memang, untuk menghadapi pemilu partai membutuhkan banyak dana untuk mengkampanyekan visi dan misi mereka sampai kepelosok negeri ini. Apalagi bangsa kita begitu luas wilayahnya.
Kita memang takut, meriahnya demokrasi bangsa ini menyisakan luka bagi rakyat Indonesia. Begitu besarnya dana kampanye yang dibutuhkan membuat partai politik gelap mata untuk mengambil uang Negara. Jangan sampai demokrasi kita terus seperti ini. Perlu cara dan undang-undang yang tegas untuk mengatasi permasalahan ini.
Semoga semua partai politik arif dalam mencari dana kampanye yang mereka butuhkan untuk menghadapi pemilu. Bangsa kita banyak menjadi contoh bagi Negara-negara lain dalam hal demokrasi. Semoga keunggulan kita dalam hal demokrasi tidak sampai perlu melakukan tindakan korupsi oleh partai politik.
Suap, secara logika awam saja kita dapat memahami arti dari suap. Dari sudut logika awam suap adalah pemberian “sesuatu” dari pihak yang merasa diuntungkan oleh kebijakan yang dibuat oleh pihak lain. Secara Istilah (kamus Bahasa Indonesia) adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan. Tentunya pemberian ini bukan dari seorang sebut sajalah seorang majikan yang memberikan kepada pembantunya. Pemberian ini diterima dari pihak luar. Contohnya, kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.
Korupsi, sudah menjadi musuh besar bangsa ini sejak dahulu. Korupsi merupakan ancaman besar bagi pembangunan bangsa yang merata, adil dan makmur. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dapat membunuh rakyat miskin secara perlahan. Ironisnya korupsi tidak pernah hilang dari muka bumi pertiwi ini. Selalu aja muncul bagaikan rumput liar.
Kampanye mengutip dari bahan kuliah yang diberikan oleh Gun Gun Heryanto, menurut Roger dan Storey (communication campaign) kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Kampanye pada Negara yang cukup luas seperti bangsa Indonesia ini tentunya tidak cukup hanya menggunakan biaya yang sedikit. Maka dari itu setiap partai politik harus mempunyai dana yang kuat untuk mengikuti pemilu.
Keadaaan
Memang ini bukan sebuah fenomena baru lagi. Suap yang diterima oleh para keder partai politik sering kali terjadi. Bukan ingin berasumsi bahwa hasil suap tersebut untuk membiayai kampanye parpol, tetapi hanya ingin melihat fenomena tersebut sering terjadi. Kita lihat saja anggota komisi IX DPR periode 1999-2004. Dalam pemilihan deputi gubernur senior BI, Miranda Gultom memberikan aliran dana sebesar Rp 9M. Dalam kasus suap ini melibatkan 19 nama anggota komisi IX DPR yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Aliran itu masuk ke rekening anngota DPR tersebut kisaran dari Rp 200 juta- 500 juta. Hanya ada 1 orang yang menerima lebih dari Rp 1M.
Sehabis pemilu 2009, muncul kasus dugaan penyalahgunaan dana bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 T. Kasus ini melibatkan Wakil Presiden terpilih Budiono dan Sri Mulyani yang waktu itu menjabat sebagai menteri keuangan. Hal yang paling buruk dalam kasus ini ialah dugaan bahwa uang tersebut mengalir ke dalam Partai Demokrat.
Belum lama ini ada lagi kasus suap yang melibatkan anggota partai dalam dana pembangunan wisma atlet untuk Sea Games yang akan segera diselenggarakan. Lebih menonjol, dalam kasus ini melibatkan bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin. Dalam kasus ini M Nazaruddin tidak mau hanya dijadikan tumbal oleh partainya, lalu dia “bernyanyi” kepada media bahwa bukan hanya dia saja yang menikmati hasil korupsi dana tersebut. I Wayan Koster dan Angelina Sondakh ikut terseret dalam pengakuan Nazaruddi.
Korupsi yang melibatkan para anggota DPR ini tentunya sangat merisaukan. Hal ini memunculkan kecurigaan pada diri kita ada apa dibalik kejadian tersebut. Biasanya hal-hal seperti diatas sering kali terjadi kepada mereka yang memiliki akses kekeuasaan. Biasanya korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki akses kekuasaan akan lama terungkapnya. Biasanya dalam hal ini KPK, Mahkama Agung (MA), Kejaksaan dan Kepolisian terjebak dalam pola obstruction of justice atau pengadilan dan pertanggungjawaban pidana hanya orang-orang korup tetapi tak berkuasa.
Mungkinkah hasil korupsi tersebut digunakan untuk membiayai kampanye partai politiknya. Hal ini sulit dibuktikan, karena BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) selaku badan yang berdiri untuk memeriksa keungan tidak bisa masuk keranah dana kampanye. Hal ini menyebabkan BPK tidak bisa mengawasi dan mengontrol dana kampanye partai politik. BPK hanya berwenang mengawsi dan mengontrol penggunaan serta pengelolaan keuangan Negara. Terlebih lagi, pada pemilu 2009 lalu, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) mengaku kesulitan untuk masuk kedalam partai politik untuk melihat penerimaan dan penggunaan dana kampanye.
Memang dalam menghadapi pemilu, banyak partai berlomba-lomba untuk mencari dana kampanye ke pihak-pihak yang ingin memberinya. Dilema memang, untuk menghadapi pemilu partai membutuhkan banyak dana untuk mengkampanyekan visi dan misi mereka sampai kepelosok negeri ini. Apalagi bangsa kita begitu luas wilayahnya.
Kita memang takut, meriahnya demokrasi bangsa ini menyisakan luka bagi rakyat Indonesia. Begitu besarnya dana kampanye yang dibutuhkan membuat partai politik gelap mata untuk mengambil uang Negara. Jangan sampai demokrasi kita terus seperti ini. Perlu cara dan undang-undang yang tegas untuk mengatasi permasalahan ini.
Semoga semua partai politik arif dalam mencari dana kampanye yang mereka butuhkan untuk menghadapi pemilu. Bangsa kita banyak menjadi contoh bagi Negara-negara lain dalam hal demokrasi. Semoga keunggulan kita dalam hal demokrasi tidak sampai perlu melakukan tindakan korupsi oleh partai politik.
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- ahmad fauzi
- bekasi, jawa barat, Indonesia
- sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae