Sebuah Literasi Politik
Jakarta belum tertidur, apalagi disaat-saat seperti ini hari-hari pun kian memanas. Jakarta sedang manantikan sebuah pemimpin yang baru yang mampu membawa perubahan yang berarti atau pula sudah merasa nyaman dengan pemimpin yang sudah ada. Yang pasti ini Jakarta tidak akan kembali tertidur sebelum putaran kedua pemilihan gubernur selesai. Yang tersisa dari enam pasang calon kini hanya meninggalkan pasangan Jokowi/Ahok dan Fauzi Bowo/Nahrowi. Keduanya masih akan sibuk untuk mempopulerkan dirinya masing-masing. Diputaran pertama kemarin pasangan Jokowi/Ahok berhasil mengungguli pasangan Fauzi/Nahrowi dengan meraih 42% suara unggul jauh dari perolehan suara sang lawan yakni hanya 34% suara. Ini adalah modal awal yang cukup bagus untuk pasangan Jokowi/Ahok mengingat Fauzi/Nahrowi adalah pasangan yang cukup kuat apalagi Fauzi Bowo adalah gubernur DKI Jakarta periode kemarin.
Putaran pertama telah usai dan yang terus berlanjut adalah kedua pasangan terus melakukan kampanye melalui media social yang memang tidak dilarang oleh pihak KPUD Jakarta. Berbagai is uterus bermunculan di media social, kedua belah pihak kini ibarat saling “membunuh” satu sama lainnya. Kubu yang satu menggunakan sentiment agama untuk “membunuh” lawannya dan kubu yang satu mengklaim bahwa Jakarta kini membutuhkan pemimpin yang baru yang lebih bersih dan lebih nyaman. Hal-hal seperti ini kerap kali terjadi di jejaring social. Memang kini internet merupakan era ketiga panggung politik menggantikan era media massa dan yang sebelumnya era retorika. Banyak calon yang memanfaatkan internet khususnya media social sebagai ajang kampanye apalagi pengguna internet kini sudah menjamur. Apalagi kini yang “bertanding” adalah untuk memperebutkan pemilih Jakarta yang kebanyakan dari mereka sudah melek dari internet. Internet kini menjadi media yang sangat empuk bagi masing-masing tim sukses untuk melancarkan kampanye dan serangan kepada masing-masing lawan.
Jakarta mungkin menjadi kota yang sangat prestis bagi masing-masing calon untuk meraih kekuasaan. Bagaimana tidak, Jakarta adalah ibu kota Negara dan pusat perekonomian sebagian besar ada di Jakarta. Siapa yang tidak mau mengurus ibu kota walaupun memiliki banyak problema. Kita lihat Jokowi dan Alex Nurdin yang saat ini sedang menjabat sebagai wali kota dan gubernur di daerah asalany, mereke siap melepas jabatannya di sana demi meraih kekuasaan di Jakarta. Dan kini hanya Jokowi yang tertinggal untuk siap berduel dengan pasangan incumbent Fauzi Bowo.
Yang hangat belakangan ini adalah bagaimana masing-masing pihak kini menjalarkan serangan kepada lawannya melalui internet (social media). Seperti dikatakan di atas mereka ada yang menggunakan sentiment agama dan ada pula yang mengklaim Jakarta kini membutuhkan pemimpin yang baru. Ini sudah menjadi topic utama dari masing-masing akun social media mereka masing-masing maupun akun para pendukungnya. Tiada hari tanpa kampanye.
Dari apa yang terjadi seharusnya kedua pasangan tidak panic dan tentunya tidak arogan dalam menghadapi apa yang terjadi belakangan ini di dunia maya. Meraka sama-sama salinh merebut pemilih dari kalangan yang berhubungan langsung dengan internet. Meminjam istilah dari beberapa pengamat bahwasanya pemilih atau lebih utamanya kini tidak bodoh lagi dalam memilih pemimpin. Mereka bisa menilai rekam jejak dari masing-masing calon dari media massa dan internet.
Lain hal yang perlu diperhatikan dari masing-masing calon adalah bagaimana mereka bisa memetakan pemilih di Jakarta masuk dalam pemilih seperti apa. Buktinya kemarin yang tidak terlupakan adalah bagaiman suara golput/yang tidak memilih pada putaran pertama mencapai lebih dari 30%. Ini menunjukkan bukan berarti mereka yang melek internet melek juga terhadap politik. Artinya apa dari kampanye yang dijalankan mereka hanya sibuk saling serang namun belum mampu menimbulkan motif bagi khalayak mengapa mereka harus memilih. Angka golput ini menunjukkan mereka masih apatis atau tidak menaruh perhatian sama sekali pada kegiatan politik dan mereka masa bodoh terhadap hal tersebut. Pemilih Jakarta sebagian baru termasuk dalam kategori spectator yakni setidaknya khalayak menggunakan hak suaranya untuk memilih. Dan mungkin yang gladiator (keikutsertaan penduduk secara aktif dalam proses politik) hanya sebagian kecil dari pemilih Jakarta.
Mengingat motif pemilih dalam berpatisipasi politik dalam mata kuliah komunikasi politik yang diberikan oleh Gun-gun Heryanto memiliki 4 motif;
1. Motif yang rasional bernilai: yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan secara rasional terhadap nilai-nilai suatu kelompok. Pemilih yang sudah masuk kedalam motif ini mereka akan mempertahankan segala nilai-nilai yang sudah mereka terima dari masing-masing kandidat. Jadi bagi tim kampanye seharusnya mereka berhasil menyakinkan pemilih dengan sebuah perbaikan yang baru yang mampu membawa Jakarta tidak menjadi seperti lima tahun belakangan. Walaupun dalam kenyataan misalnya perbaikan yang mereka bawa tidak sebaik yang sudah ada. Namun apabila pemilih sudah masuk kedalam motif ini mereka akan mempertahankan nilai baru tersebut.
2. Motif yang afektual emosional: yaitu motif yang didasarkan atas kebenaran terhadap suatu ide, organisasi atau individu. Misalnya mereka yang memilih Jokowi sebagai gubernur Jakarta mereka pasti sudah merasakan atau melihat keberhasilan Jokowi sebagai wali kota Solo. Jadi mereka berpartisipasi dalam berpolitik karena ingin keberhasilan Jokowi terwujud juga di Jakarta.
3. Motif yang tradisional: yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok social. Di sinilah peran dari tim sukses masing-masing mampu menyakinkan bahwa suatu kelompok social tertentu yang lebih bagus. Namun hal inipun harus terlebih dahulu mengetahui jumlah kelompok sosialnya lebih unggul atau tidak.
4. Motif yang rasional bertujuan: yaitu motif yang didasarkan atas kepentingan pribadi. Yaitu dengan memanfaatkan kelemahan masing-masing lawan untuk mengajak pemilih lain untuk tidak memilih calon tertentu.
Jadi inilah hal yang perlu diperhatikan bagi tim sukses maupun para simpatisan masing-masing calon dalam meraih pemilih di putaran kedua nanti. Adapun cara-cara yang perlu diperhatikan untuk medapatkan atau mempertahankan sebuah kekuasaan adalah sebagai berikut:
1. Yang pertama ialah dengan tipe simbolis: memanipulasi kecenderungan-kecenderungan moral emosional, tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk symbol-simbol. Saya kira sudah semua calon menggunakan tipe ini dalam meraih dukungan dari pemilih. Namun dalam menghadapi masyarakat yang sudah sedikit cerdas menggunakan tipe ini dalam berkampanye belakangan banyak yang bilang sebuah blunder. Menggunakan sentiment budaya, tradisi dan lain-lain kini sudah tidak lagi menjadi senjata utama dalam meraih suara malah dapat menimbulkan hal sebaliknya.
2. Yang kedua ialah dengan tipe materil: dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan materil kepada masyarakat, seperti menjamin ketersediaan kebutuhan dasar atau dalam bahawa kasarnya adalaha politik uang. Sebelum dan setelah pilgub kemarin sudah banyak ditemukan cara-cara seperti ini seperti yang di buktikan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW)
3. Yang ketiga adalah dengan tipe procedural: tipe ini dengan cara menyelenggarakan pemilu untuk menentukan para petinggi Negara untuk mengesahkan suatu kebijakan umum. Atau kasus yang sedang dibahas adalah pemilihan gubernur DKI Jakarta. Tipe ini sedang dilaksanakan saat ini untuk menentukan siapa pemimpin Jakarta periode 2012-2017.
Menurut saya seperti inilah hal-hal yang diberikan dalam mengajak pemilih untuk menentukan pilihannya buka malah saling serang satu sama lain dengan membentuk opini negative terhadap masing-masing lawan dihadapan masyarakat yang malah akan menimbulkan keapatisan dari pemilih.
Waasssaaalaammmm…..
#SaveRI
Selasa, 24 Juli 2012
Minggu, 22 Juli 2012
ARTIS SAAT RAMADHAN
Ramadhan telah kembali menghampiri kita. Salah satu bulan yang dianggap istimewa oleh umat Islam. Limpahan pahala yang cukup besar bagi siapapun yang melakukan ibadah di bulan ini. Orang-orang yang beriman pasti bergembira dapat berjumpa lagi dengan bulan ini. Suasana pun akan sedikit berubah baik di malam hari maupun di siang hari. Warung-warung makanan yang biasanya buka sejak siang hari kini harus menundanya demi menghormati orang-orang yang berpuasa dan warung remang-remang pun dipaksa tutup satu bulan penuh.
Begitupun dengan apa yang kita tonton di layar televisi. Akan banyak sekali perubahan dari segi isi maupun iklannya. Kini iklan-iklan yang menghiasi layar televisi kita banyak yang berkaitan dengan kebutuhan kita selama bulan ramadhan. Iklan-iklan kini dikemas lebih khusus berbeda dengan bulan-bulan biasanya, kini iklan ada unsur Islamnya. Inilah sebagian yang terjadi di layar tv kita.
Lain lagi dengan para pelaku hiburannya (sebut saja artis-artis layar kaca kita). Biasanya mereka tak sekalipun bergaya islami kini mereka pun mengubah gayanya di bulan ramadhan ini. Mereka biasanya dalam sebuah acara tv baik gossip maupun acara talk show tampil cukup terbuka dan berbau kemewahan kini mereka berubah dengan tampilan islami dan penuh dengan hal kemanusiaan. Sungguh inilah yang akan hadir dilayar tv kita selama bulan ramadhan.
Hal-hal ini seperti mengembalikkan diri kita kepada apa yang disebut kaum marxisme yang menggaggap agama, ideology dan sebagainya itu seperti candu. Pada jaman keemasannya ajaran marxisme di Eropa mereka menganggap agama hanya sebagai hasil dari kebutuhan ekonomis. Mereka melihat seseorang beragama hanya demi kebutuhan ekonominya semata bukan sebagai hasil dari sebuah ketulusan.
Inilah yang saya lihat dari realitas yang terjadi saat ini di layar tv saat bulan ramadhan datang. Banyak mereka (artis) yang kehilangan identitas aslinya di bulan ramadhan. Mereka yang sebenarnya sebelum ramadhan tampil cukup seksi dan cukup kritis terhadap ajaran agama kini seolah mereka tampil cukup religious. Saya menganggap inilah sebagai contoh dari yang dikatakan oleh kaum marxisme agama sebagai candu. Bukan tidak senang dengan apa yang ditampilkan oleh para artis tersebut, namun mereka tampil seperti itu hanya demi memenuhi kebutuhan ekonominya saja dan menghilangkan identitas asli mereka. Seharusnya bagi mereka yang kuat pandangannya terhadap sebuah realitas menolak untuk tampil religious dan lebih untuk memilih keluar sebentar terlebih dahulu dari dunia hiburan dan mempertahankan ideology mereka. Tapi yang terjadi cukup berbeda. Apakalh hal seperti ini dapat kita katakan para artis kita tidak memiliki sebuah ideology yang kuat dan mereka tampil religious pada saat ramadhan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya saja.
Wassaaalaaamm…..
Begitupun dengan apa yang kita tonton di layar televisi. Akan banyak sekali perubahan dari segi isi maupun iklannya. Kini iklan-iklan yang menghiasi layar televisi kita banyak yang berkaitan dengan kebutuhan kita selama bulan ramadhan. Iklan-iklan kini dikemas lebih khusus berbeda dengan bulan-bulan biasanya, kini iklan ada unsur Islamnya. Inilah sebagian yang terjadi di layar tv kita.
Lain lagi dengan para pelaku hiburannya (sebut saja artis-artis layar kaca kita). Biasanya mereka tak sekalipun bergaya islami kini mereka pun mengubah gayanya di bulan ramadhan ini. Mereka biasanya dalam sebuah acara tv baik gossip maupun acara talk show tampil cukup terbuka dan berbau kemewahan kini mereka berubah dengan tampilan islami dan penuh dengan hal kemanusiaan. Sungguh inilah yang akan hadir dilayar tv kita selama bulan ramadhan.
Hal-hal ini seperti mengembalikkan diri kita kepada apa yang disebut kaum marxisme yang menggaggap agama, ideology dan sebagainya itu seperti candu. Pada jaman keemasannya ajaran marxisme di Eropa mereka menganggap agama hanya sebagai hasil dari kebutuhan ekonomis. Mereka melihat seseorang beragama hanya demi kebutuhan ekonominya semata bukan sebagai hasil dari sebuah ketulusan.
Inilah yang saya lihat dari realitas yang terjadi saat ini di layar tv saat bulan ramadhan datang. Banyak mereka (artis) yang kehilangan identitas aslinya di bulan ramadhan. Mereka yang sebenarnya sebelum ramadhan tampil cukup seksi dan cukup kritis terhadap ajaran agama kini seolah mereka tampil cukup religious. Saya menganggap inilah sebagai contoh dari yang dikatakan oleh kaum marxisme agama sebagai candu. Bukan tidak senang dengan apa yang ditampilkan oleh para artis tersebut, namun mereka tampil seperti itu hanya demi memenuhi kebutuhan ekonominya saja dan menghilangkan identitas asli mereka. Seharusnya bagi mereka yang kuat pandangannya terhadap sebuah realitas menolak untuk tampil religious dan lebih untuk memilih keluar sebentar terlebih dahulu dari dunia hiburan dan mempertahankan ideology mereka. Tapi yang terjadi cukup berbeda. Apakalh hal seperti ini dapat kita katakan para artis kita tidak memiliki sebuah ideology yang kuat dan mereka tampil religious pada saat ramadhan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya saja.
Wassaaalaaamm…..
Selasa, 17 Juli 2012
SIMALAKAMA INFOTAINMENT
Pada saat ini tayangan infotainment sangat memenuhi jam tayang di layar televisi. Acara ini mampu menggeser acara berita-berita mengenai informasi politik, ekonomi, dan sebagainya. Di beberapa stasiun televisi infotainment mampu hadir di saat orang-orang mau memulai aktifitas kesehariannya. Di saat orang-orang membutuhkan berita tentang perkembangan yang terjadi di Negara ini untuk mengawali harinya, namun pada saat ini kebutuhan itu telah terganti dengan sebuah berita yang meliput tentang aktifitas para pelaku hiburan layar televisi bai artis, penyanyi, atau bahkan pemain layar lebar. Anehnya ini terjadi di stasiun televisi yang sudah cukup besar di Indonesia dan sudah sangat akrab dengan para khalayak. Sungguh infotainment sudah menjadi barang dagangan yang mampu meraup keuntungan luar biasa. Bahkan di stasiun televisi baru acara infotainment mampu tayang sehari tiga kali seperti seorang pesakitan yang harus menelan obatnya.
Bahkan agar tetap terus dicintai oleh khalayaknya, infotainment ini menjadikan artis-artis besar untuk menjadi hostnya agar mampu memiliki nilai lebih. Ada juga acara seperti ini dikemas dengan vocal suara yang menegangkan dari hostnya agar lebih tampak liputannya secara mendalam dan lebih kritis. Intinya infotainment ini sangat menjadi barang yang “seksi” agar selalu menjadi tayangan yang dinikmati khalayaknya dan terus-menerus meraih keuntungan.
Acara seperti ini diyakini oleh para pemilik media mampu menggantikan acara berita konvensional yang memberitakan isu-isu Negara yang tak pernah terjawab permasalahannya. Artinya penduduk ini mulai apatis terhadap segala permasalahan Negara yang tak kunjung usai menemukan sebuah perbaikan dan mereka mulai mengalihkan perhatiannya kepada berita-berita yang ringan dan tak ada kaitannya dengan permasalahan Negara. Sebenarnya tak ada masalah dengan fenomena yang terjadi seperti ini. Wajar-wajar sajalah jika masyarakat sudah mulai muak dengan segala permasalahan Negara yang tak kunjung usai. Pemerintah korupsi, ahhh sudah dianggap wajar oleh para penduduk bangsa ini.
Isi dari infotainment sendiri adalah seputar kisah kehidupan para artis yang tampil setiap hari menghibur masyarakat di layar kaca. Dari hal yang paling sederhana sampai hal-hal yang menakjubkan. Misalnya seperti gossip putus nyambungnya Raffi Ahmad dengan Yuni Shara, atau seputar kegiatan social para artis menjelang bulan puasa seperti ini. Hal yang lebih senstif lagi misalnya pereceraian, perselingkuhan, atau bahkan tersebarnya video porno Ariel dan Luna Maya dihadirkan di acara seperti ini. Ya, isu-isu seperti inilah yang mempu menggantikan isu pemerintahan atau Negara di kalangan khalayak saat ini.
Yang perlu diperhatikan adalah terkadang infotainment ini sendiri terkadang terlalu berlebihan dalam menyampaikan beritanya. Contohnya pada kasus tersebarnya video porno Ariel dan Luna Maya infotainment hampir satu minggu penuh menayangkan kasus ini. Mencari sumber beritanya dari orang-orang terdekat mereka sampai keluarga mereka dimintai pendapatnya. Atau bahkan yang lebih konyol adalah memintai pendapat para penggemar mereka. Ini sungguh mengganggu hak individu dari yang bersangkutan yaitu Ariel dan Luna Maya nya sendiri.
Seperti dikutip pada buku “Media, Jurnalisme dan Budaya Populer” Editor Masduki dan Muzayin Nazaruddin pada halaman 47 menyatakan “Dalam deklarasi HAM universal diatur, bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki hak untuk “menyendiri” atau hak untuk tidak dipublikasikan. Hal ini selalu terkait dengan ketentuan moral, kultur dan hokum yang berlaku disetiap Negara. Hak privacy menjadi batal jika perbuatan yang terkait privacy seseorang ternyata merugikan kepentingan public. Dalam bahasa deklarasi HAM, publikasi kasus-kasus privacy dibolehkan jika ada keterkaitan dengan kepentingan public.”
Artinya ialah sebuah kasus yang tidak merugikan kepentingan public luas tidak boleh dipublikasikan. Mereka berhak meminta haknya kepada pekerja infotainment agar kasus yang bersangkutan tidak dipublikasikan. Namun apa yang terjadi, isi deklarasi HAM seperti di atas di sini malah dilanggar jelas-jelas oleh pekerja infotainment. Masih banyak kita lihat kasus perceraian dan kasus seperti yang melibatkan Ariel di atas menjadi tayangan empuk untuk dijual kepada khalayak. Ini jelas-jelas melanggar isi deklarasi tersebut. Bahkan dalam contoh kedua kasus di atas, pekerja infotainment malah masih sering menjadikan orang-orang terdekatnya sebagai nara sumber. Ini sungguh tidak beretika. Seharusnya hal tersebut dikesampingkan untuk menghindari sensasi yang timbul dalam khalayak. Sensasi tersebut bisa berupa khalayak menyejajarkan perilaku keluarganya dan teman-temannya sama seperti dengan yang sedang terlibat kasus tersebut. Ini sungguh tidak enak untuk di konsumsi.
Inilah cerminan yang perlu kita kritisi dari menjamurnya acara-acara infotainment yang terkadang melanggar hak privasi seseorang….
Wassalam….
Bahkan agar tetap terus dicintai oleh khalayaknya, infotainment ini menjadikan artis-artis besar untuk menjadi hostnya agar mampu memiliki nilai lebih. Ada juga acara seperti ini dikemas dengan vocal suara yang menegangkan dari hostnya agar lebih tampak liputannya secara mendalam dan lebih kritis. Intinya infotainment ini sangat menjadi barang yang “seksi” agar selalu menjadi tayangan yang dinikmati khalayaknya dan terus-menerus meraih keuntungan.
Acara seperti ini diyakini oleh para pemilik media mampu menggantikan acara berita konvensional yang memberitakan isu-isu Negara yang tak pernah terjawab permasalahannya. Artinya penduduk ini mulai apatis terhadap segala permasalahan Negara yang tak kunjung usai menemukan sebuah perbaikan dan mereka mulai mengalihkan perhatiannya kepada berita-berita yang ringan dan tak ada kaitannya dengan permasalahan Negara. Sebenarnya tak ada masalah dengan fenomena yang terjadi seperti ini. Wajar-wajar sajalah jika masyarakat sudah mulai muak dengan segala permasalahan Negara yang tak kunjung usai. Pemerintah korupsi, ahhh sudah dianggap wajar oleh para penduduk bangsa ini.
Isi dari infotainment sendiri adalah seputar kisah kehidupan para artis yang tampil setiap hari menghibur masyarakat di layar kaca. Dari hal yang paling sederhana sampai hal-hal yang menakjubkan. Misalnya seperti gossip putus nyambungnya Raffi Ahmad dengan Yuni Shara, atau seputar kegiatan social para artis menjelang bulan puasa seperti ini. Hal yang lebih senstif lagi misalnya pereceraian, perselingkuhan, atau bahkan tersebarnya video porno Ariel dan Luna Maya dihadirkan di acara seperti ini. Ya, isu-isu seperti inilah yang mempu menggantikan isu pemerintahan atau Negara di kalangan khalayak saat ini.
Yang perlu diperhatikan adalah terkadang infotainment ini sendiri terkadang terlalu berlebihan dalam menyampaikan beritanya. Contohnya pada kasus tersebarnya video porno Ariel dan Luna Maya infotainment hampir satu minggu penuh menayangkan kasus ini. Mencari sumber beritanya dari orang-orang terdekat mereka sampai keluarga mereka dimintai pendapatnya. Atau bahkan yang lebih konyol adalah memintai pendapat para penggemar mereka. Ini sungguh mengganggu hak individu dari yang bersangkutan yaitu Ariel dan Luna Maya nya sendiri.
Seperti dikutip pada buku “Media, Jurnalisme dan Budaya Populer” Editor Masduki dan Muzayin Nazaruddin pada halaman 47 menyatakan “Dalam deklarasi HAM universal diatur, bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki hak untuk “menyendiri” atau hak untuk tidak dipublikasikan. Hal ini selalu terkait dengan ketentuan moral, kultur dan hokum yang berlaku disetiap Negara. Hak privacy menjadi batal jika perbuatan yang terkait privacy seseorang ternyata merugikan kepentingan public. Dalam bahasa deklarasi HAM, publikasi kasus-kasus privacy dibolehkan jika ada keterkaitan dengan kepentingan public.”
Artinya ialah sebuah kasus yang tidak merugikan kepentingan public luas tidak boleh dipublikasikan. Mereka berhak meminta haknya kepada pekerja infotainment agar kasus yang bersangkutan tidak dipublikasikan. Namun apa yang terjadi, isi deklarasi HAM seperti di atas di sini malah dilanggar jelas-jelas oleh pekerja infotainment. Masih banyak kita lihat kasus perceraian dan kasus seperti yang melibatkan Ariel di atas menjadi tayangan empuk untuk dijual kepada khalayak. Ini jelas-jelas melanggar isi deklarasi tersebut. Bahkan dalam contoh kedua kasus di atas, pekerja infotainment malah masih sering menjadikan orang-orang terdekatnya sebagai nara sumber. Ini sungguh tidak beretika. Seharusnya hal tersebut dikesampingkan untuk menghindari sensasi yang timbul dalam khalayak. Sensasi tersebut bisa berupa khalayak menyejajarkan perilaku keluarganya dan teman-temannya sama seperti dengan yang sedang terlibat kasus tersebut. Ini sungguh tidak enak untuk di konsumsi.
Inilah cerminan yang perlu kita kritisi dari menjamurnya acara-acara infotainment yang terkadang melanggar hak privasi seseorang….
Wassalam….
Jumat, 13 Juli 2012
Jakarta, Persija dan Jak Mania
Jakarta sudah menjadi kota yang sangat seksi bagi penduduk Indonesia maupun dunia. Untuk penduduk lokal Jakarta begitu seksi karena menjadi ibu kota Negara kita dan menjadi titik pusat pemerintahan Negara. Bagi penduduk dunia, Jakarta menjadi sangat seksi karena belum lama ini terdapat survey yang menyatakan Jakarta sebagai kota terburuk ke tujuh di dunia. Apapun ceritanya Jakarta menjadi sangat membanggakan bagi penduduk aslinya. Kota yang sangat kental dengan ondel-ondelnya sebagai lambing kebudayaannya.
Jakarta sebagai ibu kota Negara tentunya sangat menarik bagi para penduduk daerah untuk berdatangan mengadu nasib meraih seperak rejeki. Dari mereka ada yang sudah memiliki kemampuan untuk dijual dan ada juga dari mereka yang tidak memiliki kemampuan sama sekali. Mereka rela meninggalkan kampong halamannya untuk datang kedalam kehidupan yang lebih keras.
Hal di atas terbukti melalui data dari Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi DKI Jakarta jumlah penduduk ibu kota tahun 2011 adalah 10.187.959 jiwa. Sedangka data dari hasil sensus penduduk di ibu kota tahun 2010 hanya sekitar 2.301.587 penduduk asli Jakarta. Sisanya penduduk Jakarta dikuasai oleh para pengadu nasib dari daerah sekitar. Penduduk Jakarta yang bersuku Jawa misalnya, jumlah populasinya yang mengadu nasib di Jakarta sekitar 2.927.340 jiwa. Jumlah ini lebih besar dari jumlah penduduk asli Jakarta. Dari sekian banyaknya penduduk yang hidup di Jakarta muncullah berbagai permasalahan. Namun yang menjadi titik focus bukan permasalahan Jakarta.
Ya dari sekian banyaknya pendatang yang hidup di Jakarta, ada satu nama yang menjadi sebuah kebanggaan bagi penduduknya, yakni PERSIJA. Persija yang berdiri sejak tahun 1928 kini memiliki supporter fanatik yang bernama Jak Mania. Kelompok supporter ini memang terbilang masih cukup muda umurnya dibandingkan dengan kelompok-kelompok supporter di kota-kota besar lainnya. Supporter ini berdiri sejak tahun 1997 pada tanggal 19 desember atau berbarengan dengan bergilirnya Liga Nasional edisi ke IV. Salah satu pendiri dari kelompok supporter ini adalah selebritis ibu kota yakni Gugun Gondrong.
Di tengah heterogennya penduduk yang meniggali Jakarta masih ada sekelompok orang yang mencintai tim sepak bola kebanggaan ibu kota. Saat ini anggota jak mania telah lebih dari 50.000 anggota. Antusiasme para pendukung ini membuktikan bahwa para penduduk yang berdatangan dari luar ibu kota pun begitu mencintai Persija. Mereka para pendatang saat pertama kali hadir di ibu kota mungkin masih sangat terlihat jelas fanatisme kedaerahannya apalagi yang bersangkutan dengan tim sepsk bola. Tetapi setelah mereka merasakan hadir langsung di stadion untuk menyaksikan langsung Persija berlaga mereka sedikit demi sedikit tergerus hatinya untuk mencintai Persija.
Persija Jakarta yang berada di ibu kota yang hanya memiliki luas wilayah sekitar 661,52 KM (persegi) dengan mayoritas penduduknya di kuasai para pendatang masih tetap menjadi sebuah kebanggaan. Ini terbukti dari jumlah rata-rata penonton yang hadir di Stadion Gelora Bung Karno yang menjadi kandang bagi Persija Jakarta mencapai sekitar 12.989 penonton. Bahkan saat laga melawan musuh bebuyutannya Persib Bandung para Jak Mania mampu menembus angka 50 ribuan penonton untuk menyaksikan langsung laga tersebut di GBK. Ini menjadi tanda bahwa Persija bukan hanya dicintai oleh warga asli Jakarta saja, namun juga begitu dicintai oleh para pendatang yang menjadikan ibu kota sebagai tempat tinggal untuk mengadu nasib.
Sejatinya Persija ditengah heterogen penduduknya mampu menyaingi klub-klub daerah lain yang penduduknya dikuasai oleh para penduduk aslinya. Fanatisme Aremania, Bonek, Viking, Pasoepati, dan supporter lainnya sangatlah wajar apabila dilihat dari segi sebaran penduduknya. Mereka dipenuhi oleh penduduk asli sana dan pendatang hanya menjadi minoritas.
Sebenarnya Persija mampu menjadi pemersatu warga pendatang di ibu kota dengan bendera Jak Manianya. Mereka bersatu mencintai satu klub yang bukan dari daerah asalnya. Mereka bersatu dengan para penduduk asli untuk menjaga tim kebanggaan ibu kota. Sungguh berbangga menjadi bagian dari Persija dan Jak Mania. Kita bersatu karena kita berbeda.
#salaammm….
Jakarta sebagai ibu kota Negara tentunya sangat menarik bagi para penduduk daerah untuk berdatangan mengadu nasib meraih seperak rejeki. Dari mereka ada yang sudah memiliki kemampuan untuk dijual dan ada juga dari mereka yang tidak memiliki kemampuan sama sekali. Mereka rela meninggalkan kampong halamannya untuk datang kedalam kehidupan yang lebih keras.
Hal di atas terbukti melalui data dari Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi DKI Jakarta jumlah penduduk ibu kota tahun 2011 adalah 10.187.959 jiwa. Sedangka data dari hasil sensus penduduk di ibu kota tahun 2010 hanya sekitar 2.301.587 penduduk asli Jakarta. Sisanya penduduk Jakarta dikuasai oleh para pengadu nasib dari daerah sekitar. Penduduk Jakarta yang bersuku Jawa misalnya, jumlah populasinya yang mengadu nasib di Jakarta sekitar 2.927.340 jiwa. Jumlah ini lebih besar dari jumlah penduduk asli Jakarta. Dari sekian banyaknya penduduk yang hidup di Jakarta muncullah berbagai permasalahan. Namun yang menjadi titik focus bukan permasalahan Jakarta.
Ya dari sekian banyaknya pendatang yang hidup di Jakarta, ada satu nama yang menjadi sebuah kebanggaan bagi penduduknya, yakni PERSIJA. Persija yang berdiri sejak tahun 1928 kini memiliki supporter fanatik yang bernama Jak Mania. Kelompok supporter ini memang terbilang masih cukup muda umurnya dibandingkan dengan kelompok-kelompok supporter di kota-kota besar lainnya. Supporter ini berdiri sejak tahun 1997 pada tanggal 19 desember atau berbarengan dengan bergilirnya Liga Nasional edisi ke IV. Salah satu pendiri dari kelompok supporter ini adalah selebritis ibu kota yakni Gugun Gondrong.
Di tengah heterogennya penduduk yang meniggali Jakarta masih ada sekelompok orang yang mencintai tim sepak bola kebanggaan ibu kota. Saat ini anggota jak mania telah lebih dari 50.000 anggota. Antusiasme para pendukung ini membuktikan bahwa para penduduk yang berdatangan dari luar ibu kota pun begitu mencintai Persija. Mereka para pendatang saat pertama kali hadir di ibu kota mungkin masih sangat terlihat jelas fanatisme kedaerahannya apalagi yang bersangkutan dengan tim sepsk bola. Tetapi setelah mereka merasakan hadir langsung di stadion untuk menyaksikan langsung Persija berlaga mereka sedikit demi sedikit tergerus hatinya untuk mencintai Persija.
Persija Jakarta yang berada di ibu kota yang hanya memiliki luas wilayah sekitar 661,52 KM (persegi) dengan mayoritas penduduknya di kuasai para pendatang masih tetap menjadi sebuah kebanggaan. Ini terbukti dari jumlah rata-rata penonton yang hadir di Stadion Gelora Bung Karno yang menjadi kandang bagi Persija Jakarta mencapai sekitar 12.989 penonton. Bahkan saat laga melawan musuh bebuyutannya Persib Bandung para Jak Mania mampu menembus angka 50 ribuan penonton untuk menyaksikan langsung laga tersebut di GBK. Ini menjadi tanda bahwa Persija bukan hanya dicintai oleh warga asli Jakarta saja, namun juga begitu dicintai oleh para pendatang yang menjadikan ibu kota sebagai tempat tinggal untuk mengadu nasib.
Sejatinya Persija ditengah heterogen penduduknya mampu menyaingi klub-klub daerah lain yang penduduknya dikuasai oleh para penduduk aslinya. Fanatisme Aremania, Bonek, Viking, Pasoepati, dan supporter lainnya sangatlah wajar apabila dilihat dari segi sebaran penduduknya. Mereka dipenuhi oleh penduduk asli sana dan pendatang hanya menjadi minoritas.
Sebenarnya Persija mampu menjadi pemersatu warga pendatang di ibu kota dengan bendera Jak Manianya. Mereka bersatu mencintai satu klub yang bukan dari daerah asalnya. Mereka bersatu dengan para penduduk asli untuk menjaga tim kebanggaan ibu kota. Sungguh berbangga menjadi bagian dari Persija dan Jak Mania. Kita bersatu karena kita berbeda.
#salaammm….
Kamis, 12 Juli 2012
Melawan Tirani Minoritas (Pemilik Media dan Pelaku Dunia Hiburan)
Televisi saat ini sudah menjadi barang yang sangat dibutuhkan dalam setiap keluarga. Hamper semua lapisan masyarakat disekitar kita memiliki barang ini. Satu keluarga satu televisi, bahkan yang lebih ekstremnya lagi bagi keluarga kelas menengah ke atas disetiap kamarnya terdapat satu televisi. Inilah yang terjadi di masyarakat kita betapa televisi menjadi barang pokok dalam setiap keluarga.
Selain begitu dibutuhkan oleh setiap keluarga, televisi juga mampu mambuat kita terbius tidak sadar ketika sedang menontonnya. Bagi kebanyakan orang, ketika sedang asik menonton televisi bersama keluarga mulai terjadi di saat itu pula sekat-sekat hubungan kita dengan anggota keluarga lainnya. Kita tiba-tiba memiliki jarak dengan mereka disaat asiknya menonton televisi. Kita masing-masing sibuk memperhatikan adegan tiap adegan yang disuguhkan televisi, tertawa sendiri, menangis, tersenyum dan lain sebagainya. Disaat itu kita terbius seolah-olah tidak mengenal anggota keluarga kita lainnya.
Itu hanya menjadi sebagian dampak yang begitu kecil yang diberikan televisi kepada keluarga kita. Yang perlu diperhatikan adalah isi yang disiarkan televisi. Sadis, mistis, seksis, dan hedonis manjadi wajah utama pertelevisian di negeri kita ini. Berapa banyak acara seperti tersebut yang tayang disaat anak-anak dan diri kita sedang membutuhkan hiburan untuk menghilangkan penat di kepala kita. Yang lebih berbahaya adalah ketika kita secara sadar menonton acara tersebut.
Opera van Java, Pesbukers, Bukan Empat Mata, Putih Abu-abu dan hampir semua acara yang tayang dari jam 6 (enam) malam sampai jam 11 (sebelas) malam di televisi kita sanagat mengandung unsure mistis, hedonis, seksis dan sadis. Ini sangat menjadi berbahaya untuk kita nikmati. Disaat kita sangat membutuhkan hiburan tetapi malah disajikan acara-cara yang tidak bermutu. Rupanya pemilik media dan para pelaku dunia hiburan pertelevisian hanya memntingkan keuntungan semata dan malah mengesampingkan kepentingan khalayak berupa dengan cara menayangkan tayangan-tayangan yang wajar untuk kita konsumsi.
Pelanggaran-pelanggaran kerap terjadi disana-sini dar tayangan-tayangan yang beredar seperti di atas. Tidak hanya acaranya, tetapi para pemain-pemainnya pun kerap kali ditegur KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut misalnya melakukan adegan kekerasan, pelecehan terhadap wanita, bahkan sampai ada komedian yang melecehkan salah satu salam agama tertentu. Ini sangat menjadi masalah besar bagi dunia pertelevisian kita.
Yang menyedihkan adalah setelah mereka ditegur, mereka hanya sekedar meminta maaf dan mengatasnamakan demokrasi sebagai pembelaaannya. Mereka mengemis kepada khalayak, mereka melakukan pekerjaan ini hanya sebatas tuntutan peran dan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan semata untuk menghidupi anggota keluarga lainnya. Ya, kita seakan-akan harus memaklumi kepentingan mereka dan mengabaikan kepentingan banyak orang.
Contoh kejadian seperti di atas sangat sering terjadi. Antara pemilik modal dan para pelaku hiburan sering kali dimaklumi atas kesalahannya. Kepentingan mereka seakan-akan lebih besar dari kepntingan kita yang membutuhkan sebuah tontonan yang sehat. Jangan sampai ini terjadi selamanya. TIRANI MINORITAS di mana kepentingan banyak orang diabaikan hanya demi kepentingan segelintir orang tidak bertanggung jawab.
Teori Pembelajaran Sosial
Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura, “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selaktif dan mengingat tingkah laku orang lain.” Ada dua jenis jenis pembelajaran melaui pengamatan. Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Dalam hal ini, kita mengikuti gaya orang lain karena sosok yang kita amati mendapatkan sebuah penguatan positif dari pihak lain. Misalnya, komedian tertentu dalam setiap acaranya terdapat beberapa kali melakukan kekerasan namun sosok tersebut mendapatkan sebuah penghargaan berupa pujian dari rekan-rekannya. Secara tidak sadar penonton akan mengikuti adegan tersebut karena melihat sosok yang dia tonton melakukan hal tersebut mendapatkan sebuah pujian. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model tersebut tidak mendapatkan penguatan positif maupun penguatan negatif.
Inilah yang berbahaya dari sebuah tontonan yang mengandung unsur sadis, mistis, hedonis maupun seksis. Karena menurut Bandura seperti yang dijelaskan di atas sebagian besar manusia blajar melaui pengamatan selektif dan mengingat tingkah laku orang lain.
Lalu apa yang harus kita lakukan dalam mengahadapi hal seperti ini? Ya kita harus bisa selektif dalam memegang remot televisi. Pemahaman terhadap media sangat perlu untuk kita ketahui dalam menyeleksi acara-acara yang tidak bermutu. Terlebih lagi kita harus berani mematikan televisi di saat ini. Kontrol yang sangat keras dari pemerintah nanti akan disangka oleh para insan pertelevisian sebagai pelanggaran terhadap demokrasi. Jadi untuk saat ini peran masyarakat sendirilah yang mampu melawan Tirani Minoritas tersebut. Jangan sampai kita terus menerus memaklumi kesalahan mereka (pelaku dunia hiburan pertelevisian) dan mengorbankan kepentingan kita.
Wassalam….
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- ahmad fauzi
- bekasi, jawa barat, Indonesia
- sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae